PERAN
DAN UPAYA KOPERASI PETERNAK SAPI PERAH
DALAM MENINGKATKAN KUALITAS SUSU DI
JAWA BARAT
(The
Role and Effort of Dairy Farming Cooperation to increase Milk Quality in West Java)
OLEH :
E.MARTINDAH dan R.A. SAPTATI
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Profil koperasi dan peternak sapi
perah
Jumlah
koperasi susu di wilayah Kabupaten Bandung yang tercatat sebagai anggota GKSI Komda
Jawa Barat adalah sebanyak 8 (delapan) buah, dimana yang terpilih sebagai
sampel dalam pengkajian ini sebanyak 2 (dua) koperasi yaitu Koperasi Peternak
Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang dan Koperasi Serba Usaha (KSU) Tandangsari,
Sumedang yang masing-masing mewakili topografi dataran tinggi dan dataran rendah.
Profil dan karakteristik koperasi contoh disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1.
Profil dan karakteristik KPSBU Lembang dan KSU Tandangsari tahun 2006
Sumber:
Data sekunder KPSBU dan KSU Tandangsari (2006)
Tabel
1 menunjukkan bahwa KPSBU Lembang merupakan koperasi yang besar, yang tercermin
dari jumlah anggota aktif diatas 5 ribu orang dan produksi susu yang dihasilkan
diatas 40 ribu kg/hari (YUSDJA, 2005). Disamping itu KPSBU juga telah
mengembangkan usahanya ke arah usaha down stream berupa pabrik pengolahan
susu pasteurisasi dan yoghurt. Upaya ini juga ditujukan untuk menciptakan pasar
baru agar dapat meningkatkan harga susu di tingkat peternak. KPSBU juga telah
mempunyai pabrik pakan untuk menyediakan konsentrat bagi para peternak
anggotanya. Upaya ini dilakukan agar pakan (konsentrat) yang diberikan terjamin
kualitas dan kontinuitasnya sehingga dapat menghasilkan susu berkualitas
tinggi.
Sementara
untuk KSU Tandangsari termasuk koperasi kategori sedang, dimana jumlah anggota aktif
antara 1000- 5000 orang dengan jumlah populasi sapi dan produksi susu di bawah KPSBU
Lembang. Koperasi ini belum melakukan diversifikasi usaha seperti pengolahan
susu dan pabrik pakan konsentrat.
Sebagian
besar peternak sapi perah di wilayah pengkajian tergabung dalam wadah koperasi,
yaitu KPSBU Lembang dan KSU Tandangsari. Profil peternak dan karakteristik usahanya
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel
2. Pofil dan karakteristik usaha peternak sapi perah di wilayah KPSBU Lembang
dan KSU Tandangsari tahun 2006
Sumber:
Data primer diolah (2006)
Gambaran
umum peternakan sapi perah di kedua koperasi hampir tidak berbeda dengan di wilayah
lain, dimana sebagian besar usahaternak sapi perah sebagai usaha
sambilan/cabang usaha, dengan skala kepemilikan induk laktasi dibawah 5 ekor.
Hanya beberapa peternak yang masuk kategori skala usaha besar dengan
kepemilikan sapi laktasi diatas 10 ekor. ERWIDODO dan SAYAKA (1998) menyatakan
bahwa komposisi peternak sapi perah di Indonesia diperkirakan terdiri dari 80%
peternak kecil kurang dari empat ekor, 17% memiliki 4-7 ekor, dan 3% memiliki ternak
lebih dari 7 ekor. Rendahnya skala kepemilikan tersebut disebabkan oleh keterbatasan
dana dan tenaga kerja serta sumber pakan hijauan. Selama ini peternak lebih mengandalkan
tenaga kerja keluarga dan sumber pakan dari luar wilayah akibat terbatasnya
lahan yang dikuasai. Hal ini sejalan dengan MULYADI et al. (1995) yang
menyatakan bahwa system produksi sapi perah yang masih subsisten ditandai
dengan dominasi tenaga kerja keluarga serta ketelatenan peternak yang semakin menurun
pada pemilikan sapi laktasi diatas 2 ekor. YUSDJA (2005) menegaskan, semakin
besar skala usaha, manajemen semakin lemah, produktivitas semakin menurun dan
tehnologi bibit unggul sapi perah tidak memperlihatkan kemampuan optimal. Hal
ini disebabkan oleh kesulitan dalam mendapatkan pakan hijauan dan konsentrat,
terutama karena lahan bebas semakin sempit dan rendahnya daya beli.
Rataan
produksi susu di KPSBU Lembang lebih tinggi dibandingkan dengan KSU Tandangsari,
walaupun hal ini masih dibawah kemampuan produksi optimal sekitar 15-20 liter/ekor/hari.
Bahkan di beberapa Negara produsen susu dunia, kemampuan produksi seekor sapi
perah dapat mencapai 20-40 liter/hari (BARICELLO, 1987; ERWIDODO dan TREWIN, 1995
dalam ERWIDODO dan SAYAKA, 1998). Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh
kondisi topografi wilayah Sumedang yang masuk kategori dataran rendah dengan
temperatur lebih tinggi (panas) sehingga mempengaruhi produksi susu sapi perah
yang lebih cocok di daerah dataran tinggi, disamping juga pengaruh manajemen
ternak. Kondisi iklim dan lingkungan, kondisi genetik, tingkat pemeliharaan dan
mutu pakan merupakan beberapa faktor penjelas masih rendahnya tingkat produktivitas
sapi perah di Indonesia.
Demikian
juga dengan harga susu, peternak di KPSBU Lembang memperoleh harga jual susu yang
lebih tinggi dibandingkan dengan KSU Tandangsari. Kondisi ini dapat menunjukkan
dua hal, yaitu manajemen peternak di KPSBU Lembang dan kualitas susu yng
dihasilkan lebih baik dibandingkan dengan KSU Tandangsari. Kualitas susu yang
berada diatas ketentuan yang disyaratkan, akan mendapat harga diatas harga standar,
namun apabila kualitas susu berada dibawah standar yang ditentukan, maka akan mendapat
harga di bawah harga standar, atau ditolak sama sekali oleh pihak IPS.
PERAN DAN UPAYA
KOPERASI DALAM MENINGKATKAN KUALITAS SUSU
Standar
harga susu dalam negeri masih ditentukan
secara sepihak oleh industri pengolah susu (IPS). Sampai saat ini, kualitas
susu peternak rakyat mayoritas masih dibawah standar yang telah dipersyaratkan
oleh IPS. Hal ini menyebabkan harga susu yang diterima peternak masih dibawah
harga susu impor, yaitu sekitar 50-62%. Idealnya harga susu domestik sebesar 80%
dari harga susu impor, agar ada insentif bagi peternak untuk meningkatkan
populasi dan produktivitas (SETIADI, 2007). Sampai 1997, tercatat ada lima
pabrik pengolah susu besar yang menguasai pangsa pasar produk susu di Indonesia,
yaitu PT. Friesche Vlag Indonesia, PT. Food Specialities Indonesia, PT.
Sarihusada, PT. Indomilk dan PT. Ultrajaya (CIC, 1991).
Berbagai
upaya terus dilakukan oleh koperasi untuk meningkatkan produksi dan kualitas
susu peternak, baik berupa bimbingan teknis, penyuluhan, sampai dengan
penyediaan modal dan sarana produksi dengan harapan manajemen usaha dapat
ditingkatkan sehingga kualitas susu lebih baik. Kualitas susu di kedua koperasi
secara terinci dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel
3. Hubungan antara rataan TS dan TPC dengan harga susu di koperasi
Kualitas
susu di kedua koperasi telah memenuhi syarat yang diminta oleh IPS. Bahkan kadar
kuman untuk KPSBU Lembang rata-rata telah dibawah 1 juta/ml. Hal ini tidak
terlepas dari upaya koperasi untuk membenahi manajemen produksi dan keswan
serta meningkatkan pengetahuan peternak. Seperti telah diketahui bahwa
rendahnya produksi dan kualitas susu dalam negeri selain dipengaruhi oleh
rendahnya mutu pakan karena mahalnya harga, juga karena tingginya prevalensi
penyakit mastitis subklinis (80%) yang dapat menurunkan tingkat produksi
sekitar 20% dan belum ditangani dengan baik. KPSBU Lembang dalam upaya
penanggulangan penyakit mastitis melakukannya per cooling unit sehingga treatment
dapat dilakukan terhadap sapi yang terdeteksi per cooling/kelompok.
Selain mastitis, penyakit Brucellosis juga berpotensi menimbulkan
kerugian yang besar karena ternak dapat mengalami keguguran. Dalam pengendalian
penyakit Brucellosis KPSBU dan KSU Tandangsari telah proaktif dalam melakukan
screening test. Bagi ternak yang positif langsung dilakukan slaughter.
Pada tahun 2006, di wilayah KPSBU ada 88 ternak yang positif, dan langsung
dilakukan penyembelihan bagi ternak yang positif. Sedangkan di KSU Tandangsari
dari 400 sampel yang sudah diuji belum ada yang menunjukan positif. Upaya lain dalam
pengendalian penyakit Brucellosis dengan dilakukan screening terhadap
semua hewan yang masuk dari wilayah lain bekerjasama dengan Dinas Peternakan.
Selain
pengendalian penyakit di atas, KPSBU juga melakukan manajemen antibiotik bagi ternak-ternak
yang sedang dalam pengobatan (pemberian antibiotik). Susu yang berasal dari ternak-ternak
tersebut dibuang ke tempat prosesing limbah tidak disatukan dengan susu yang
lain (± 300 liter/hari), tetapi susu tersebut tetap dibeli oleh koperasi.
Pengelolaan
yang berorientasi pada kualitas yang baik harus dipersiapkan dari hulu (peternak)
sampai ke hilir (diterima di IPS). Pembenahan manajemen di tingkat peternak dilakukan
oleh KPSBU sejak 2004 melalui pendidikan dan pelatihan dasar berkoperasi bagi setiap
anggota. Selain itu juga dilakukan penyuluhan untuk memperbaiki manajemen peternak
dengan materi manajemen pakan, manajemen kebersihan alat-alat susu serta manajemen
pemerahan. Penerapan harga susu yang berorientasi pada kualitas, dilakukan melalui
penerapan reward dan punishment. Penetapan harga berdasarkan
kualitas susu akan mempengaruhi harga jual susu yang diterima peternak
(SETIADI, 2006).
Adapun
manajemen di tingkat koperasi meliputi manajemen pelayanan teknis peternakan yaitu
IB, Keswan serta penyuluhan, selain itu juga manajemen pendinginan susu,
manajemen stock, manajemen kebersihan alat serta manajemen quality
control (QC).
HAMBATAN DALAM
UPAYA PENINGKATAN KUALITAS MANAJEMEN SAPI PERAH
Kekurangan hijauan pakan ternak
(HPT)
Kekurangan
HPT saat ini tidak hanya terjadi pada saat musim kemarau tetapi juga di musim hujan.
Hal ini terjadi karena beralihnya lahan hijauan menjadi pemukiman/pariwisata,
apalagi wilayah sapi perah biasanya berada di wilayah pegunungan yang sejuk dan
indah, sehingga menjadi daya tarik pengembangan wisata. Peternakan sapi perah
membutuhkan lahan yang cukup luas, tetapi di Indonesia peternakan sapi perah
terkendala oleh keterbatasan lahan. Kondisi ini menimbulkan permasalahan,
yaitu: (1) sulitnya meningkatkan kepemilikan sapi karena peternak tidak sanggup
mencari HPT lebih banyak, (2) HPT harus didatangkan dari tempat yang jauh
sehingga memerlukan korbanan waktu yang tinggi. Rata-rata peternak memerlukan 8
jam untuk pengadaan HPT sehingga kegiatan lain seperti recording, pengamatan
birahi dan lainnya menjadi terbengkalai, serta (3) karena didatangkan dari tempat
yang jauh maka memerlukan biaya tansportasi yang tinggi sehingga HPT menjadi mahal
dan menyebabkan tingginya biaya produksi sehingga mengurangi pendapatan peternak,
(4) kelangkaan HPT telah mengubah perilaku peternak dalam memelihara sapi
perah, HPT yang seharusnya diberikan 10% dari berat
badan
sapi tidak pernah terpenuhi. Untuk menambah kekurangan HPT peternak mensubstitusi
dengan onggok singkong, ampas tahu, ampas bir. Penggunaan pakan selain rumput
sudah melebihi ketentuan dan menimbulkan berbagai penyakit pencernaan dari yang
ringan sampai displasia abomasum dan penurunan produksi susu sapi (SETIADI,
2006).
Untuk
menanggulangi kekurangan HPT, KPSBU Lembang dan KSU Tandangsari telah melakukan
kerjasama dengan Perum Perhutani untuk melakukan penanaman HPT di hutan melalui
program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat), peternak diizinkan menanam
HPT di bawah tegakan tanaman pokok hutan. Tetapi program ini sulit dilakukan
bagi peternak kecil yang tinggalnya jauh dari hutan, karena HPT yang seharusnya
murah menjadi mahal disebabkan biaya transportasi.
Tingginya angka mutasi sapi
Dari
evaluasi data recording koperasi persusuan yang telah menggunakan SiSi
(Sistim informasi Sapi perah Indonesia) angka mutasi cukup tinggi. Hal ini
berhubungan dengan rendahnya pemilikan sapi, dimana peternak yang hanya
memiliki 2 ekor sapi apabila terjadi masalah pada seekor sapinya akan mengambil
solusi dengan menukar atau menjual sapinya. Keadaan ini tentunya sangat tidak menguntungkan.
KESIMPULAN
Pengembangan
usaha peternakan sapi perah di Indonesia sangat prospektif. Pemberlakuan persyaratan
kualitas susu oleh IPS sesuai dengan ketentuan GKSI telah memacu koperasi susu untuk
berupaya dalam meningkatkan kualitas susu dengan pengelolaan yang berorientasi
dari hulu (peternak) sampai ke hilir (diterima IPS). KPSBU telah melakukan
pembenahan manajemen di tingkat peternak sejak 2004 melalui pendidikan dan
pelatihan dasar berkoperasi bagi setiap anggotanya. Demikian pula KSU
Tandangsari telah membenahi manajemen produksi dan keswan dengan meningkatkan
pengetahuan peternak.
Koperasi
susu KPSBU dan KSU Tandangsari telah proaktif beerjasama dengan Dinas Peternakan
dalam pengendalian penyakit Brucellosis melalui screening test terhadap semua
sapi yang ada di wilayahnya dan bagi ternak yang masuk dari wilayah lain. Pengendalian
penyakit mastitis oleh KPSBU dilakukan per cooling unit, sehingga memudahkan
penanganannya. Demikian halnya dalam melakukan manajemen antibiotic, susu yang
berasal dari ternak yang diobati dengan antibiotic susunya dibuang ke tempat
prosesing limbah namun tetap dibeli oleh koperasi. Penerapan harga susu
berorientasi pada kualitas dilakukan melalui reward and punishment sehingga
mempengaruhi harga jual susu peternak.
Nama : Zainul Arifin
NPM :
27211720
Kelas : 2EB09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar