PENGEMBANGAN
KONSEP BISNIS KOPERASI
OLEH :
BEZISOKHI LAOLI
Penulusuran substansi konsep diri operasi dilakukan
secara diakronis, sinkronis dan melakukan sinergi keduanya. Penulusuran
diakronis yaitu melakukan pendalaman aspek antropologis pikiran ekonomi
koperasi dan penerjemahannya di lapangan masa pra kemerdekaan sampai
kemerdekaan (mulai awal proklamasi sampai turunnya Hatta menjadi Wapres).
Penulusuran sinkronis yaitu melakukan pendalaman aspek antropologis beberapa aktivitas
bisnis berkoperasi masyarakat Indonesia. Sinergi diakronis dan sinkronis
dilakukan untuk menemukan titik temu sekalikgus substansi konsep koperasi.
A.
Penelusuran
Diakronis Koperasi Masa Awal
Pertumbuhan koperasi di Indonesia dimulai sejak
tahun 1896 yang selanjutnya berkembang dari waktu ke waktu sampai sekarang
(Masngudi 1990;Tambunan 2007). Perkembangan koperasi di Indonesia menurut
Masngudi (1990) mengalami pasang naik dan turun dengan titik berat lingkup
kegiatan usaha secara menyeluruh yang berbeda-beda dari waktu ke waktu sesuai
dengan iklim lingkupnya. Mulai dari kegiatan simpan-pinjam, penyediaan
barang-barang konsumsi, penyediaan barang-barang keperluan produksi.
Pertumbuhan koperasi di Indonesia dipelopori oleh R.
Aria Wiriatmadja (1896), mendirikan koperasi simpan pinjam. Selanjutnya Boedi
Oetomo dan Serikat Islam menganjurkan berdirinya koperasi untuk keperluan rumah
tangga. Serikat Islam lebih konkrit lagi mengembangkan koperasi yang bergerak
di bidang keperluan sehari-hari dengan cara membuka took-toko koperasi.
Berkembang pula di awal-awal koperasi Syirkatul Inan milik NU tahun 1918 di
Jombang. Kegiatan serupa juga dilakukan oleh Partai Nasional Indonesia di bawah
pimpinan Ir. Soekarno, di mana berdasarkan keputusan kongres 1929 bahwa untuk
meningkatkan kemakmuran penduduk Bumi Putera harus didirikan berbagai macam
koperasi di seluruh Pulau Jawa khususnya dan di Indonesia pada umumnya, Kongres
Muhammadiyah pada tahun 1935 dan 1938 memutuskan tekadnya untuk mengembangkan
koperasi di seluruh wilayah Indonesia, terutama di lingkungan warganya.
Berbagai koperasi dibidang produksi mulai tumbuh dan berkembang antara lain
koperasi batik yang dipelopori oleh H. Zarkasi, H. Samanhudi dan K.H Idris.
Perkembangan perkoperasian Indonesia masa itu menyatu
dengan kekuatan sosial politik sehingga menimbulkan kecurigaan Pemerintag
Hindia Belanda. Oleh karenanya Pemerintah Hindia Belanda mangatur dan cenderung
menghalangi atau menghambat perkembangan koperasi. Bentuknya yaitu tahun 1915
diterbitkan Ketetapan Raja no. 431. Perkoperasian dalam bentuk
Gouvemmentsbesluit no.21 yang termuat di dalam Staatsbiad no. 108/1933 yang
menggantikan Koninklijke Besluit no. 431 tahun 1915.
Pada masa pendudukan bala tentara Jepang istilah
koperasi lebih dikenal menjadi istilah “Kumial”. Perkembangan Pemerintahan
pendudukan bala tentara Jepang dikarenakan masalah ekonomi yang semakin sulit
memerlukan peran “Kumial” (koperasi). Pemerintah waktu itu menganjurkan
berdirinya “Kumial” di desa-desa yang tujuannya untuk melakukan kegitan
distribusi barang yang jumlahnya semakin hari semakin kurang karena situasi
perang dan tekanan ekonomi Internasional (misalnya gula pasir, minyak tanah,
beras, rokok dan sebagainya). Di lain pihak Pemerintah pendudukan bala tentara
Jepang memerlukan barang-barang yang dinilai penting untuk dikirim ke Jepang
(misalnya biji jarak, hasil-hasil bumi yang lain, besi tua dan sebagainya) yang
untuk masyarakat agar menyetorkannya melalui “Kumial”. Kumial (koperasi)
dijadikan alat kebijaksanaan dari Pemerintah bala tentara Jepang sejalan dengan
kepentinganya. Peranan koperasi sebagaimana dilaksanakan pada zaman
Pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang tersebut sangat merugikan bagi para
anggota dan masyarakat pada umumnya.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya,
dengan tegas perkoperasian ditulis di dalam UUD 1945. DR. H Moh Hatta berusaha
memasukkan rumusan perkoperasian di dalam “konstitusi”. Sejak kemerdekaan itu
pula koperasi di Indonesia mengalami suatu perkembangan yang lebih baik. Pada akhir
1946, Jawatan Koperasi mengadakan pendaftaran koperasi dan tercatat sebanyak
2500 buah koperasi di seluruh Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia
bertindak aktif dalam pengembangan perkoperasian. Disamping menganjurkan
berdirinya berbagai jenis koperasi Pemerintah RI berusaha memperluas dan
menyebarkan pengetahuan tentang koperasi dengan jalan mengadakan kursus-kursus
koperasi di berbagai tempat.
Pada tanggal 12 Juli 1947 diselenggarakan kongres
koperasi se Jawa yang pertama di Tasikmalaya. Dalam kongres tersebut diputuskan
antara lain terbentuknya Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia yang
disingkat SOKRI; menjadikan tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi serta
menganjurkan diselenggarakan pendidikan koperasi di kalangan pengurus, pegawai
dan masyarakat. Selanjutnya, koperasi pertumbuhannya semakin pesat. Setelah
terbentuknya Negara Kesatuan Repulik Indonesia tahun 1950 program
Pemerintah semakin nyata keingininnya
untuk mengembangkan perkoperasian. Sejalan dengan kebijaksanaan Pemerintah sebagaimana
tersebut di atas, koperasi mekin berkembang dari tahun ketahun baik organisasi
maupun usahanya. Selanjutnya pada tanggal 15 sampai 17 Juli 1953 dilangsungkan
kongres koperasi Indonesia yang ke II di
Bandung. Keputusannya antara lain mengubah Sentral Organisasi Koperasi Rakyat
Indonesia (SOKRI) menjadi Dewan Koperasi Indonesia (DKI). Pada tahun 1956
tanggal 1 sampai 5 September diselenggarakan Kongres Koperasi III di Jakarta.
Keputusan Kongres di samping berkaitan kehidupan
perkoperasian di Indonesia, juga mengenai hubungan Dekopin dengan ICA. Pada
tahun 1958 diterbitkan UU tentang Perkumpulan Koperasi No. 79 Tahun 1958. UU
ini disusun dalam suasana UUDS 1950 dan mulai berlaku tanggal 27 Oktober 1958.
Isinya lebih baik dan lebih lengkap jika dibandingkan dengan
peraturan-peraturan koperasi sebelumnya dan merupakan Undang-Undang yang
pertama tentang perkoperasian yang disusun Bangsa Indonesia sendiri dalam
suasana kemerdekaan.
B.
Penulusuran
Sinkronis Realistis Empiris Masyarakat Koperasi Indonesia
Pengembangan koperasi perlu dikembangkan dari bawah,
bukan intervensi atau menjadi subordinasi dari kepentingan tertentu. Pemerintah
dan instansi tetap perlu berperan sebagai supporting
movement. Keberadaan perusahaan pun sebenarnya bukan menkreasi koperasi
menjadi subordinat. Perlu adanya kesetaraan. Disamping itu yang menarik adalah
membentuk karakter kekeluargaan dan pemberdayaan dari bawah/kontekstual.
Diperlukan penggalian lebih jauh konsep kekeluargaan dan pemberdayaan koperasi
berbasis ekonomi rakyat.
C.
Konsep
Pemberdayaan Koperasi
Dapat disimpulkan bahwa perkembangan koperasi awal
sampai masa kemerdekaan terlihat bahwa habitus
masyarakat Indonesia dalam mengembangkan (practice) koperasi (field)
didasarkan kepentingan pemberdayaan (capital).
Memang perkembangan awal masih bertujuan untuk kepentingan konsumtif dan
kebutuhan modal anggotanya (intermediasi). Hal ini dapat dilihat dari koperasi
di Purwokerto sampai dibentuknya koperasi oleh Boedi Oetomo, SI, NU, PNI dan
lainnya. Meskipun koperasi intermediasi seperti ini akhirnya tidak berjalan
lama.
Tetapi setelah berjalan sekitar 20 tahun gerakan
koperasi mulai mengarah kepentingan produktif. Misalnya gerakan koperasi
fenomenal Muhammadiyah berkenaan produksi batik. Bahkan gerakan koperasi produktif
sangant kuat dan bertahan lebih lama dari gerakan intermediasi, karena memiliki
kemampuan beradaptasi. Inilah yang disebut oleh Prahalad dan Hamel (1990)
sebagai core competencies. Hanya
perbedaanya, kompetensi inti versi Prahalad dan Hamel (1990) berorientasi pada
kepentingan individual, sedangkan kompetensi inti koperasi Muhammadiyah lebih
berorientasi pada karakter koperasi Indonesianis, yaitu kekeluargaan.
Perubahan situasi di masa orde baru dan reformasi,
memunculkan mekanisme baru pemberdayaan, yaitu intervensi terus menerus
terhadap koperasi. Mekanisme seperti ini telah menghilangkan core competencies koperasi (yang
seharusnya mandiri, otonom, berkembang dari bawah, dijalankan secara
kekeluargaan, memiliki sinergi dan keseimbangan bisnis produktif-intermediasi-retail)
menjadi tereduksi terlalu jauh. Bila dirujuk pasa konsep bisnis core
competencies, maka kondisi koperasi sekarang telah kehilangan sense untuk
mengembangkan core competencies, dan hanya dapat mengembangkan core product
saja. Itupun yang disebut dengan produk telah jauh tereduksi pada model
intermediasi dan retail saja. Sedangkan substansi dari core product yang lebih mengutamakan inovasi teknologi dan
orientasi terealienasi secara gradual dan menurun.
Menjadi benar ungkapan Bourdieu bahwa setiap manusia
dan realiatas sosial dipengaruhi oleh habitus. Ketika tesis Arif (1995) benar
bahwa masyarakat Indonesia telah terkooptasi secara “turun-temurun” oleh budaya
cultuurstelsel Belanda selama 350
tahun, maka menjadi logislah kita semua masih senang didominasi oleh gerakan
“tanam paksa” Neoliberal. Cultuurstelsel telah mejadi habitus rakyat Indonesia
lewat doxa kapitalisme, Neoliberalisme Ekonomi, Ekomoni Rakyat sebagai idealism
telah tergerus pula oleh doxa Neoleberalisme Ekonomi. Neoliberalisme Ekonomi
bahkan telah menjadi (dikatakan bordieu) sebagai symbolic violence, yaitu kejahatan simbolis dari doxa.
Bentuk konkrit habitus cuturstelsel, mewujud dalam peran Usaha Besar menjadi pusat kendali
dari trickle down effect pada bursa
efek, megaindustri sampai oligopoly pasar nasional. Sedangkan koperasi hanyalah
menjadi tiang penopang ekonomi (dan sesungguhnya pula hanya sebagai pelengkap
penderita) berbentuk subordinasi bagi Usaha Besar. Pesona statistic menurut
Ismangil dan Priono (2006) tentu tak bisa dijadikan patokan tunggal. Fakta
memang menyebutkan perkembangan koperasi di Indonesia secara kuantitatif
terbilang paling pesat dibandingkan kebanyakan Negara manapun di dunia. Jika di
Negara-negara dengan tradisi berkoperasi yang telah mengakar kuat tak sedikit
yang mengarah pada trend amalgamasi, situasi kontras terlihat dinegara ini.
Mengacu pada pertumbuhan kuantitatif koperasi
Indonesia empat tahun terakhir, dari semula tercata 118.644 unit (2002) meroket
menjadi lebih dari 123 ribu unit pada 2005 (Data Kementrian Negara Koperasi dan
UKM, 2006). Hanya dalam tempo tiga tahun tak kurang 5.000 unit koperasi muncul
bak cendawan di musim hujan. Ini juga bisa diartikan bahwa animo masyarakat
masih terus meningkat dari masyarakat untuk menghidupkan perekonomian mereka
melalui koperasi.
Tetapi kenyataannya, Kita, lanjut Islamingi dan
Priono (2006) juga harus berlapang dada menerima kenyataan, bahwa disbanding
BUMN dan swasta, koperasi belum memberikan kontribusi yang signifikan dalam
perekonomian nasional. Sumbangan yang sangat kecil terhadap produk domestic
bruto (PDB) memperlihatkan wajah lain dari perkembangan koperasi di Indonesia.
Belum suksesnya Indonesia dalam mengembangkan perekonomian di tingkat pedesaan
yang mengakibatkan tidak berkembangnya ekonomi rakyat, merupakan akibat kurang
optimalnya pengembangan wadah koperasi sebagai penopang perekonomian nasional.
Koperasi masih diposisikan dalam zona sub system-bagian dari system-swasta dan
BUMN, dengan kedudukan yang tidak sederajad, Karena berada dalam posisi sub
system, Koperasi di Indonesia kurang optimal dalam membangun jaringan kopeasi
(coop-network) yang memadai, akibatnya banyak keuntungan-keuntungan ekonomis
yang terseran swata dan BUMN.
Indikasi doxa
dan symbolic violence juga dapat
muncul dari Visi Membangun Koperasi Berkualitas. Maka diingatkan oleh Sularso
(2006) bahwa jika 70,000 koperasi berkualitas ingin diwujudkan, perlu diadakan
intervensi agar jumlah koperasi berkualitas terdongkrak mencapai jumlah yang
dikehendaki. Intervensi dilakukan dengan memfasilitasi koperasi-koperasi yang
mempunyai potensi untuk meningkatkan kualitasnya. Tetapi jika intervensi
tersebut tidak tersambut dengan potensi internal yang tumbuh, maka tidak akan
bermanfaat dan akan merusak koperasi. Umumnya intervensi pemerintah mengandung
bahaya, menjadikan koperasi tergantung dan kehilangan keswadaya dan otonominya.
Atau melakukan rekayasa penilaian dengan menurunkan kadar kriterianya sehingga
lebih banyak koperasi yang bisa masuk kategori berkualitas. Intervensi
pemerinyah belum tentu dapat menumbuhkan potensi internal koperasi dan rekayasa
criteria klasifikasi hanya akan menghasilkan klasifikasi koperasi yang
kualitasnya dibawah standar. Koperasi-nya sendiri tidak bergerak untuk
meningkatkan kualitasnya.
Lebih lanjut Sularso (2006) menjelaskan umumnya
pencapaian target pengembangan koperasi dilakukan dengan pendekatan
formalistik, kurang memperhatikan substansi koperasi berkualitas. Untuk
menghindari formalisme dalam membangun koperasi berkualitas, seharusnya
mempertimbangkan substansi koperasi berkualitas, yaitu konsistensi terhadap
nilai, prinsip dan tujuan koperasi, konsistensi terhadap fungsi dan peran
koperasi, partisipasi anggota dan keputusan demokratik, pengelolaan berdasar good corporate governance, dan
pertumbuhan berkelanjutan.
Bahkan kecendrungan gerak koperasi sekarang juga
kembali ke logika awal pergerakan koperasi di masa koperasi dikenalkan di
Indonesia, fungsi intermediasi. Hal
ini terlihat dari makin menjamurnya Lembaga Keuangan Mikro dan Koperasi Simpan
Pinjam. Perkembangan yang juga membesar juga bentuk Koperasi Serba Usaha, yang
bergerak di bidang retail. Kebalikannya, koperasi produktif meskipun secaa
sporadic banyak memiliki keanggotaan, omzet dan asset besar, tetapi kecendrungan
terus menurun.
KESIMPULAN
Konsep kemandirian, kompetensi inti kekluargaan dan
sinergi produktif-inermediasi-retail merupakan substansi pengembangan koperasi
sesuai realitas masyarakat Indonesia yang unik. Meskipun perkembangannya saat
ini banyak tereduksi intervensi kebijakan dan subordinasi usaha besar.
Diperlukan kebijakan, regulasi, supporting movement (bukannya intervention
movement), dan strategic positioning (bukannya sub-ordinat positioning)
berkenaan menumbuhkan kembali konsep kemandirian, kekeluargaan dan sinergi
produktif-intermediasi-retail yang komprehensif. Paling pengting adalah
menyeimbangkan kepentingan pemberdayaan ekonomi koperasi berbasis pada sinergi
produktif-intermediasi-retail sesuai Ekonomi Natural model Hatta. Sinergi
produktif-intermediasi-retail harus dijalankan dalam koridor kompetensi inti
kekeluargaan. Artinya, pengembangan keunggulan perusahaan berkenaan inovasi
teknologi dan produk harus dilandasi pada prinsip kekeluargaan. Induvidualitas
anggota koperasi diperlukan tetapi, soliditas organisasi hanya bisa dijalankan
ketika interaksi kekeluargaan dikedepankan.
Nama : Zainul
Arifin
NPM :
27211720
Kelas : 2EB09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar