KOPERASI WANITA
DENGAN PERBANKAN DALAM PENYALURAN KREDIT MIKRO BAGI USAHA PEREMPUAN
OLEH :
SULIKANTI AGUSNI
Abstrak
|
Pendahuluan
Pada
Infokop nomor terdahulu telah dijabarkan pentingnya ‘kesadaran’ (conciencious)
dan peran para anggota koperasi wanita untuk kebaikan dan kemajuan, tidak hanya
bagi kaum perempuan saja tetapi bagi pembangunan Indonesia secara menyeluruh.
Juga telah diuraikan adanya peluang koperasi wanita sebagai penyalur kredit
mikro. Koperasi wanita di sini adalah sebutan bagi koperasi yang dikelola dan
beranggotakan perempuan. Pada tulisan kali ini fokus pembahasan lebih kepada
koperasi wanita itu sendiri sebagai suatu lembaga koperasi yang dapat berperan
aktif sebagai motor ketahanan ekonomi di wilayahnya.
Koperasi
wanita telah dikenal hampir 100 tahun sejak kebangkitan bangsa Indonesia tahun
1908. Dalam buku Pergerakan Koperasi Indonesia, Bung Hatta (1957) telah
menuliskan adanya koperasi yang dikelola oleh perempuan, walaupun jumlahnya
masih sedikit. Koperasi tertua yang dikenal dan diakui sebagai cikal bakal
koperasi wanita dipelopori oleh Ibu Hajjah Sofjan, pengrajin batik dari
Persatuan Perusahaan Batik Bumiputera, Surakarta, di tahun 1930an. Mereka
berkoperasi untuk mengatasi kesulitan mendapatkan bahan baku untuk membuat
batik. Pergerakan perempuan ditunjukkan juga oleh ibu-ibu Pasundan Isteri
(PASI) di Jawa Barat dengan mendirikan koperasi simpan pinjam di tahun 1933
untuk meringankan beban dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga.
Sekarang
koperasi wanita banyak yang telah berhasil dan terus menunjukkan prestasinya
sebagai lembaga yang mampu memberikan layanan kepada anggotanya dengan baik.
Contohnya yang sudah dikenal seluruh Indonesia, Koperasi Setia Bhakti Wanita
yang menggunakan sistem tanggung renteng
untuk melayani anggotanya yang berjumlah 358 kelompok dengan asset
mencapai Rp. 7 milyar, dan tunggakannya
0%. Hal ini sejalan dengan hasil kajian dan observasi sebuah lembaga swadaya
masyarakat menyatakan bahwa tingkat
pengembalian pinjaman anggota koperasi perempuan mencapai hamper
100%. Bahkan lembaga pembiayaan
seperti Perusahaan Umum Pegadaian beberapa waktu yang lalu juga memberikan
keterangan yang sama bahwa kredit yang diberikan kepada perempuan pengusaha di
Tanah Abang yang jumlahnya sudah lebih dari 1000 orang, juga menunjukkan
tingkat pengembalian hampir 100%.
Untuk keberhasilan koperasi wanita maupun sikap
positif perempuan pengusaha tersebut di atas, tidak terlepas dari peranserta
para anggota dan peran aktif pengurusnya yang selalu memperhatikan dan memahami
situasi, memberikan informasi dan mendorong anggotanya untuk menjalankan usahanya
dengan baik. Bung Hatta (1987) sejak lama menyadari pentingnya peran koperasi
sebagai wujud dari kerjasama dan kebersamaan untuk membantu si ‘kecil’ (wong
cilik). Prof. Mubyarto juga selalu menekankan pentingnya sistem ekonomi
kekeluargaan. Bahkan penerima Nobel Perdamaian 2006 Prof. Muhammad Yunus dari
Bangladesh juga telah memberikan contoh nyata melalui Grameen Bank serta kredit
mikro kepada perempuan miskin dengan sistem ekonomi kerakyatan yang lepas dari
sistem ekonomi liberal. Dalam jati diri koperasi sendiri dikenal adanya
nilai-nilai swadaya, tanggung jawab, demokrasi, kebersamaan, dan
kesetiakawanan. Jika ingin bersikap jujur, koperasi pertama di Rochdale sendiri
tidak memasukkan unsur ekonomi liberal ke dalam aktivitas koperasi yang
didirikannya.
Pertanyaannya adalah di satu sisi mampukah koperasi
wanita menjalankan peran dan jati diri koperasi secara konsekuen dengan
berpegang pada kerjasama dan kebersamaan? Di sisi lain, mampukah koperasi
wanita bekerjasama dengan perbankan melakukan kegiatan simpan pinjam dengan tetap
memegang prinsip-prinsip kebersamaan? Apakah tindakan penambahan modal dari
luar oleh koperasi sejalan dengan prinsip-prinsip koperasi? Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan di atas, perlu dilihat terlebih dahulu kemampuan perempuan,
perempuan pengusaha dan posisi koperasi wanita itu sendiri.
POTENSI
PEREMPUAN DAN PEREMPUAN PENGUSAHA
Untuk
masa sekarang ini sudah diketahui bersama bahwa perempuan sebagai separuh
penduduk Indonesia memiliki potensi yang harus dimanfaatkan untuk kemajuan
bangsa. Sudah bukan hal yang aneh, perempuan Indonesia seratus tahun yang lalu
ikut berjuang melawan penjajah dan ikut mendorong kemajuan bangsa melalui
perannya sebagai ibu dan pendidik anaknya. Pada masa kemerdekaan seperti
sekarang ini, perempuan telah banyak bergerak hampir di semua bidang. Namun
potensi yang dimiliki perempuan sering terabaikan karena faktor budaya dan struktur
yang terbentuk di lingkungan masyarakat.
Dalam
masyarakat tradisional, perempuan biasanya telah memanfaatkan sumber daya
sekitar dan menggunakan kearifan lokal untuk bertahan dan melanjutkan
kehidupannya. Dalam dunia modern, peran-peran tradisional tersebut tetap
menjadi satu kekuatan tersendiri dalam menyikapi perubahan-perubahan yang cepat
terjadi. Industri-industri kerajinan rumah, tenun, batik, jamu, makanan khas
daerah, hingga perdagangan umum dan industri jasa telah menjadi satu kekuatan
tersendiri bagi kaum perempuan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga
dan untuk meningkatkan kualitas hidup keluarga.
Perempuan
terjun menjadi pengusaha dan di berbagai belahan dunia, perempuan pengusaha
umumnya menjadi pengusaha yang berhasil. Fischer (1993) menilai keberhasilan
ini karena perempuan ternyata lebih berhati-hati dan waspada dalam menjalankan
bisnisnya dan sama efektifnya seperti laki-laki. Perempuan pengusaha cenderung
lebih sadar akan resiko atas pertumbuhan yang cepat dan lebih memilih
perkembangan usaha yang perlahan tapi berlanjut. Kecenderungan ini dinilai para
peneliti (Cliff, 1998; Watson dan Robinson, 2002) bahwa perempuan pengusaha
cenderung untuk membatasi usahanya dan mengurangi pertengkaran atau
ketidaksepahaman di tempat kerja. Penelitian yang dilakukan ADB (2001) di dua
kota besar di Indonesia menyimpulkan bahwa perempuan-perempuan pengusaha
merupakan manajer yang baik dan sangat berhati-hati dalam mengembangkan
bisnisnya. Survey yang dilakukan ADB (2002) setahun kemudian terhadap usaha
kecil dan menengah menunjukkan ternyata pertumbuhan usaha yang dikelola
perempuan lebih maju dari pada usaha yang dikelola laki-laki.
Keberhasilan
dan pertumbuhan bisnis yang dikelola oleh perempuan tidak berbeda dengan yang
dikelola laki-laki. (Hamilton, 2002). Bisnis yang dikelola perempuan memang
cenderung lebih kecil, tapi bukan berarti dikelola dengan menejemen asalan,
karena seperti diuraikan di atas perempuan pengusaha cenderung menjaga
bisnisnya tidak tumbuh besar. Hamilton juga menemukan perempuan pengusaha akan
berhadapan dengan berbagai permasalahan termasuk untuk mendapatkan kredit dan
pengembangan usaha. Untuk alasan-alasan tertentu, perempuan pengusaha tidak
memfokus untuk pengembangan usahanya, tetapi lebih pada penataan administrasi
untuk kepuasannya dalam melakukan usaha. Lebih lanjut, keputusan yang diambil oleh
perempuan pengusaha untuk membatasi pertumbuhan usahanya harus dilihat sebagai
pandangan yang lebih luas daripada hanya melihat pada masalah pembiayaan,
ekonomi atau pertumbuhan semata. Perempuan memiliki karakter yang lebih
termotivasi oleh tujuan-tujuan yang tidak ekonomi dibandingkan laki-laki, oleh
sebab itu mereka kurang agresif dan tidak terlalu melihat pada strategi
pertumbuhan usaha (Chaganti, 1986).
Perempuan
pengusaha juga cenderung untuk melakukan bisnis dan urusan rumah tangga
bersama-sama. Mungkin ini merupakan hal yang logis sebagai konsekuensi sebagai
seorang ibu tentu menghendaki adanya keseimbangan antara pekerjaan di rumah dan
di perusahaan. Apalagi dalam budaya patriarkhi, tentu peran perempuan masih
sering dibedakan dan dipisahkan.
Potensi
tersebut di atas menyangkut perempuan sebagai individu dan pengusaha. Dari sisi
koperasi, koperasi wanita juga mempunyai keistimewaan tersendiri dibandingkan
dengan koperasi-koperasi lainnya. Itu sebabnya sebutan koperasi wanita, yang
dianggap sudah terlanjur diberikan dan melekat pada koperasi yang dikelola oleh
perempuan, seolah-olah memiliki karakter dan sifat tersendiri. Sebenarnya
koperasi wanita sama saja dengan koperasi-koperasi lainnya, hanya karena
keistimewaannya yang dikelola dan beranggotakan para perempuan, maka terkesan
koperasi wanita menjadi lain.
Koperasi
wanita cenderung untuk mentaati peraturan dan melaksanakan jati diri koperasi,
berarti koperasi ini mengenal adanya nilai-nilai swadaya, tanggung jawab,
demokrasi, kebersamaan, dan kesetiakawanan. Contoh saja, dalam koperasi wanita,
perempuan dapat melakukan pengaturan dan pengelolaan dana semaksimal mungkin
bagi kepentingan anggotanya.
Koperasi
wanita pada umumnya sangat berpengalaman dalam aktivitas simpan pinjam yang
sudah menjadi dasar dari pembentukan koperasi sendiri di kalangan perempuan.
Dari sejumlah pendataan yang dilakukan beberapa lembaga diketahui bahwa
koperasi wanita umumnya berawal dari kelompok arisan dan kegiatan simpan pinjam
diantara anggota arisan.
Nama : Zainul
Arifin
NPM :
27211720
Kelas : 2EB09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar