PENGEMBANGAN
KONSEP BISNIS KOPERASI
OLEH :
BEZISOKHI LAOLI
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) menggali
konsep-konsep genuine berekonomi dari
realitas masyarakat Indonesia; (2) menempatkan konsep genuine berekonomi sebagai landasan utama pengembangan bisnis
koperasi ala Indonesia; (3) menunjukkan bukti empiris bahwa ternyata masyarakat
Indonesia memang memiliki keunikan tersendiri memahami koperasi dan (4)
memberikan masukan konstruktif bagi pengambil kebijakan perkoperasian dalam
pengembangan koperasi ke depan. Metode penulisan menggunakan metode tinjauan
literature. Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa konsep kemandirian,
kompetisi inti kekeluargaan dan sinergi produktif-intermediasiretail merupakan
substansi pengembangan koperasi sesuai realitas masyarakat Indonesia yang unik.
Meskipun perkembangannya saat ini banyak tereduksi intervensi kebijakan dan
subordinasi usaha besar. Diperlukan kebijakan, regulasi, supporting movement (bukannya intervention
movement), dan strategic positioning
(bukannya sub-ordinat positioning)
berkenaan menumbuhkan kembali konsep kemandirian, kekeluargaan dan sinergi
produktif-intermediasiretail yang komprehensif.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Perkembangan ekonomi dunia saat ini merupakan saling
pengaruh dua arus utama, yaitu teknologi informasi dan globalisasi. Teknologi
Informasi secara langsung maupun tidak langsung kemudian mempercepat globalisasi.
Berkat teknologi informasi, perjalanan ekonomi dunia makin membentuk “dirinya”
yang baru, menjadi Kapitalisme Baru berbasis Globalisasi (Capra 2003; Stiglitz
2005; Shutt 2005). Perkembangan ekonomi inilah yang biasa disebut Neoliberalism. Gelombang besar neoliberalism merupakan puncak
pelaksanaan 10 kebijakan Washington Consencus
tahun 1989.
Neoliberalism saat inipun telah memasuki hamper
seluruh system perekonomian Indonesia. Bentuk neolebiralisme tersebut dapat
dilihat dari bentuk kepatuhan terhadap mekanismepasar dengan “inflasi sehat”
menurut ukuran makro ekonomi. Neoliberalisme juga dilakukan melalui deregulasi
dan leberalisasi/privatisasi kelembagaan. Keduanya berujung integrasi dan
liberalisasi perdagangan Indonesia dalam lingkaran global, lintas batas
Negara-negara5.
Di sisi lain, Indonesia setelah memasuki era
reformasi melalui amandemen UUD 1945 tetap mengusung asas demokrasi ekonomi.
Meskipun demokrasi ekonomi yang dimaksud malah menjadi kabur setelah adanya
penambahan dua ayat (ayat 4 dan 5) dalam pasal 33 UUD 1945. Dijelaskan Mubyanto
(2003) bahwa pikiran di belakang ayat baru tersebut adalah paham persaingan
pasar bebas atau neoliberalisme. Kekeliruan lebih serius dari amandemen UUD
1945 adalah hilangnya kata “sacral” koperasi sebagai bentuk operasional ekonomi
kerakyatan atau demokrasi ekonomi yang sebelumnya tercantum dalam penjelasan
pasal 33 UUD 1945. Hilangnya kata koperasi, telah menggiring bentuk usaha
sesuai pasal empat, yaitu diselenggarakan dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadlan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Efisiensi berkeadilan
menurut Mubyanto (2003) jelas memiliki kontradiksi sekaligus bernuansa
liberalisme.
Bagaiman koperasi sendiri? Apakah sudah siap dengan
kenyataan sejarah seperti itu? Apakah koperasi memang talah melakukan “strategic positioning” sebagai wadah
anggotanya “berkerjasama” untuk kesejahteraan bersama anggot serta masyarakat,
bukannya bekerja “bersama-sama” untuk kepentingan masing-masing anggota , atau
malah manajer dan atau pengurus koperasi? Apakah koperasi juga telah sesuai
impian the founding father, menjadi
sokoguru perekonomian Indonesia?
Apakah jawabannya adalah tekad Dekopin sebagai wadah
berkumpulnya koperasi-koperasi dengan Pencanangan Program Aksi Dewan Koperasi
Indonesia (Dekopin 2006)? Atau dengan salah satu Visi Pembangunan KUKM Kantor
Menteri Negara Koperasi dan UKM berkenaan realisasi 70.000 Koperasi
Berkuallitas tahun 2009.
Banyak sudah progam-program prestisius pengembangan
koperasi. Koperasi juga tak kunjung selesai dibicarakan, didiskusikan,
“direkayasa”, diupayakan pemberdayaan dan penguatannya. Pendekatan yang
dilakukan mulai dari akademis (penelitian, pelatihan seminar-seminar, sosialisasi,
teknologi), pemberdayaan (akses pembiayaan, peluang usaha, kemitraan,
pemasaran, dll), regulatif (legislasi dan perundang-undangan), kebijakan public
(pembentukan kementrian khusus di pemerintahan pusat sampai dinas di
kota/kabupaten, pembentukan lembaga-lembaga profesi), sosiologis (pendampingan
formal dan informal), behavior
(perubahan perilaku usaha, profesionalisme) bahkan sampai pada pendekatan
sinergis-konstruktif (progam nasional Jaring Pengaman Nasional, pengentasan
kemiskinan, Pembentukan Lembaga Penjaminan, Pembentukan Dekopin dari daerah
sampai nasional.
2.
Tujuan
Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) menggali
konsep-konsep genuine berekonomi dari
realitas masyarakat Indonesia; (2) menempatkan konsep genuine berekonomi sebagai landasan utama pengembangan bisnis
koperasi ala Indonesia; (3) menunjukkan bukti empiris bahwa ternyata masyarakat
Indonesia memang memiliki keunikan tersendiri memahami koperasi dan (4)
memberikan masukan konstruktif bagi pengambil kebijakan perkoperasian dalam
pengembangan koperasi ke depan.
URAIAN TEORITIS
1.
Koperasi
Indonesia
Sarman (2007) menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi
saat ini hanya diarahkan pada kepentingan ekonomi sempit. Dalam perspektif
lebih luas perlu perencanaan tujuan pembangunan yang diarahkan kepada
pembangunan manusia, bukan terjebak disekitar pembangunan ekonomi. Tujuan
pembangunan ekonomi seharusnya tidak sekedar terpusat meisalnya pada
pertumbuhan, tetapi harus dapat mempertahankan struktur social dan budaya yang
baik. Pembangunan ekonomi yang banyak merubah keadaan social dan budaya menjadi
negative merupakan penyebab munculnya masalah moral.
Mubyarto (2002) menjelaskan ekonomi saat ini juga
tidak harus dikerangkakan pada teori-teori Neoklasik versi Amerika yang agresif
khususnya dalam ketundukannya pada aturan-aturan tentang kebebasan pasar, yang
keliru menganggap bahwa ilmu ekonomi adalah obyektif dan bebas nilai, yang
menunjuk secara keliru pada pengalaman pembangunan Amerika, dan yang semuanya
jelas tidak dapat menjadi obat bagi masalah-masalah masyarakat Indonesia dewasa
ini.
Logika modernisasi menurut kerangka filosofis
kapitalisme berkenaan pemberdayaan berada pada bagaimana mendekatkan
dikotomi antara kepentingan privat dan
public lewat media kelembagaan (mega
structures). Hal ini terjadi karena menurut Nugroho (2001) Barat
mengidentifikasikan realitas makro sebagai lembaga bersifat makro, obyektif
serta politis (public sphere) baik
berbentuk konglongmerasi para pemilik modal, birokrasi, asosiasi tenaga kerja
dengan skala besar, profesi terorganisir dan lainnya.
Masalahnya mega-structures
tersebut cenderung mengalienasi dan tidak memberdayakan eksistensi individu (private sphere). Untuk menjembatani hal
tersebut diperlukan intermediasi privat-publik model kapitalisme. Lembaga
mediasi (mediating institutions) di
satu sisi member makna privat, tetapi di sisi lain mempunyai arti public,
sehingga mampu mentransfer makna dan nilai privat ke dalam pemaknaan struktur
makro.
Hanya masalahnya liberalism yang sekarang berevolusi
menjadi neoliberalisme dan telah merambah Indonesia, mulai dari kebijakan
sampai aksi konkritnya tidak bersesuaian dengan koridor intermediasi seperti
itu. Seperti dijelaskan di muka bahwa neoliberalisme telah merasuk ke seluruh
sendi-sendi perekonomian Indonesia. Faham liberal menurut Nugroho (2001) lebih
mempertahankan hak-hak individu dan cenderung menegasikan bahwa privat sphere memiliki kosekuensi public sphere. Bahkan lembaga
intermediasi (seperti lembaga keagamaan, sosial-ekonomi termasuk koperasi)
cenderung dipertentangkan bahkan digiring menjadi area privat sphere.
Ekonomi rakyat yang sejatinya dicoba untuk menjadi
pola bebas dari substansi intermediasi dan dikotomi privat sphere dan public
sphere, seperti Koperasi, malah menjadi representasi kooptasi globalisasi
dan neoliberalisme dan secara tidak sadar mematikan dirinya sendir secara
perlahan-lahan. Istilah ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, misalnya
dijelaskan Mubyarto (2002) bukanlah kooptasi dan pengkerdilan usaha mayoritas
rakyat Indonesia, tetapi merupakan kegiatan produksi dan konsumsi yang
dilakukan oleh semua warga masyarakat dan untuk warga masyrakat, sedangkan
pengelolaannya dibawah pimpinan dan pengawasan anggota masyrakat.
Bentuk Koperasi jelas bukanlah lemaga intermediasi
seperti logika modernitas dan kapitalisme. Sehingga treatment pengembangannya
jelas harus unik dan memiliki diferensiasi dengan pengembangan koperasi di
negaa lain atau bahkan Barat. Bentuk koperasi yang unik tersebut sebenarnya
telah didefinisikan secara regulative oleh Negara. Definisi koperasi dapat
dilihat secara tekstual pada pasal 1 UU No. 25 tahun 1992 tentang
Perkoperasian, yaitu sebagai badan usaha yang beranggotakan orang, seorang atau
badan hukum koperasi melandaskan kegiatannya berdasarkan prisnsi koperasi
sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas
kekeluargaan. Secara umum definisi tersebut memberikan gambaran bahwa koperasi
merupakan bentuk dari gerakan ekonomi rakyat. Kekhasan koperasi sebagai gereakan
ekonomi rakyat adalah aktivitasnya dilandasi dengan asas kekeluargaan. Artinya,
koperasi ala Indonesia memiliki dua kata kunci, ekonomi rakyat dan
kekeluargaan. Mudahnya, koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat memerlukan
definisi operasionalnya sendiri, sesuai realitas masyarakat Indonesia.
Usulan Arif (1995) untuk memperbaiki ekonomi
nasional dengan cara reformasi sosial yang mendasar, “an effective development state”. “an effective development state” adalah suatu elit kekuasaan yang
mempunyai sifat dan perilaku; (1) bebas dari kepentingan pihak manapun kecuali
kepentingan rakyat banyak, (2) bebas dari godaan untuk memperkaya diri sendir
dan keluarga dengan menggunakan kekuasaan yang dipegangnya, (3) mengatur suatu
ideologi poloitik yang melihat rakyat banyak, pro keadilan, anti penindasan,
anti feodalisme, nepotisme dan depotisme, menjunjung tinggi integritas,
menghargai kerja nyata dan “committed”
terhadap emansipasi kemanusiaan untuk semua orang, (4) tidak melaksanakan
pemerintahan suatu Negara sebagai suatu “soft
state”, yaitu suatu pemerintahan yang lemah dan tidak beranim melaksanakan
tindakan hukum terhadap segala bentuk penyimpangan yang menghambat proses
tranformasi sosial yang hakiki. Ringkasan Arif lebih setuju pernyataan Hatta;
“Yang kita inginkan ialah rakyat yang memiliki kedaulatan bukan negara yang
memiliki kedaulatan“.
2. Jantung Organisasi Bisnis
Prahalad dan Hamel (1994) mendefinisikan kompetensi
inti (core competencies) sebagai
suatu kumpulan keahlian dan teknologi yang memungkinkan suatu organisasi
memiliki positioning agar member
manfaat lebih efektif untuk pelanggan. Organisas mempunyai kompetensi yang
perlu (necessary competencies).
kompetensi-kompetensi yang perlu adalah semua kompetensi yang menciptakan
nilai, sedangkan kompetensi yang membedakan adalah kompetensi-kompetensi yang
member organisasi tertentu atau kelompok organisasi suatu posisi kompetitif
(misalnya penguasaan pasar reputasi ilmiah.
Hamel dan Prahalad (1994) menjelaskan bahwa suatu
organisasi perlu memperhatikan keberhasilannya di masa depan sebagai persiapan
untuk pengembangan dan kerja sama kompetensi untuk meraih keunggulan produk dan
jasa yang baru. Dengan begitu, strategi daya saing pasar masa depan
mengharuskan para manajer puncak suatu organisasi untuk menyesuaikan kompetensi
inti organisasi dan strategi serta kerja sama pengelolaan sumber daya untuk
keberhasilannya.
Mudahnya, kompetensi inti atau core competencies, pertama, dalam jangka pendek memang memiliki
suatu keunggulan yang dimiliki perusahaan disertai kemampuan produk; kedua,
dalam jangka panjang dikembangkan untuk konsolidasi dengan kesamaan visi-misi
organisasi yang kuat; ketiga, memerlukan kemampuan dan ketangguhan dari para
penggiat organisasinya. Artinya, kebutuhan setiap organisasi melakukan bisnis
tidak hanya mementingkan diferential
advantage, karena hal itu hanya bersifat jangka pendek dan lebih
berorientasi pada produk. Organisasi bisnis agar dapat menjalankan going concern dan kuat bertahan pada
lingkungan yang selalu berubah, diperlukan core
competence yang memiliki keunggulan visioner serta kemampuan “collective learning” para penggiat
organisasinya. Kata kunci core competence
agar dapat menjalankan peran going
concern dan adaptif, adalah pada “harmonizing
streams of technology” dan “decisively
in services”.
Nama : Zainul
Arifin
NPM :
27211720
Kelas : 2EB09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar