Minggu, 30 Desember 2012

REVIEW 2 : KERJASAMA KOPERASI DENGAN PERBANKAN SEBAGAI PENYALUR KREDIT MIKRO


KOPERASI WANITA DENGAN PERBANKAN DALAM PENYALURAN KREDIT MIKRO BAGI USAHA PEREMPUAN
OLEH :
SULIKANTI AGUSNI

Melihat kekuatan yang ada pada perempuan pengusaha dan koperasi wanita seperti yang telah diungkapkan di atas, sebenarnya peluang koperasi wanita untuk menjadi mitra bank dalam penyalur kredit mikro bagi usaha perempuan sangatlah besar. Permasalahannya seberapa besar kepercayaan pihak perbankan untuk menyalurkan dananya kepada koperasi-koperasi wanita, atau kepada induk koperasi wanita?

Peluang bagi koperasi wanita untuk menjadi penyalur kredit mikro dapat dilihat dari kekuatan yang dimiliki antara lain yaitu, (a) bentuk kelembagaan koperasi wanita yang tidak disebut sebagai koperasi simpan pinjam, walaupun sebenarnya koperasi ini bergerak di bidang pendanaan; (b) pengalaman perempuan dalam berarisan menjadi dasar kemampuan koperasi wanita untuk mengembangkan usaha simpan pinjam menjadi lebih efektif; (c) tingkat kehati-hatian kaum perempuan dalam mengelola uang (yang bukan miliknya) merupakan faktor penting dalam pelaksanaan.

Sebutan koperasi wanita sebenarnya sudah memberikan peluang, karena walaupun sebutan koperasi tetap disandang, tetapi tidak terdapat konotasi negatif dari bentuk kelembagaannya. Hal ini mendukung dan membuka kesempatan koperasi wanita untuk mendapatkan kepercayaan dari pihak pemberi dana, dalam hal ini pihak perbankan. Yang menjadi permasalahan, seperti yang telah penulis sampaikan pada Infokop edisi terdahulu, adalah perbankan masih amat sangat netral gender. Perbankan mau berhubungan dengan korporasi, dengan lembaga, tidak dengan manusianya, laki-laki dan perempuan. Namun akhir-akhir ini, dengan berubahnya paradigma di kalangan masyarakat internasional, perbankan mulai mengubah cara pandangnya dan mulai mempertimbangkan para nasabah sebagai pelaku dalam suatu korporasi. Dengan demikian perbankan juga mulai melirik dan menilai untung rugi menggunakan koperasi wanita sebagai lembaga penyalur kredit mikro bagi para pengusaha mikro. Selain itu telah banyak contoh koperasi wanita dan perempuan pengusaha yang sangat berhati-hati dalam mengelola dana pinjaman serta memberikan nilai positif atas kemampuan mengembalikan pinjamannya.

Yang menjadi perhatian untuk mendapatkan kepercayaan perbankan adalah kemampuan koperasi wanita dalam meyakinkan lembaga keuangan tersebut. Koperasi wanita harus memperhatikan dua sisi yang tak dapat dipisahkan, yaitu koperasi sebagai lembaga atau institusi, dan anggotanya yang diharapkan terdiri dari para perempuan pengusaha. Koperasi wanita sebagai lembaga, tentu sudah menjadi kewajiban para pengurusnya untuk mencatat semua transaksi yang terjadi dengan para anggotanya di koperasi. Pembukuan yang rapih dan teratur merupakan kekuatan utama untuk mendapatkan kepercayaan dari pihak perbankan.

Dari sisi anggotanya, terutama kepada para perempuan pengusaha, pengurus koperasi perlu memberikan perhatian yang istimewa, mengingat tentu ada perbedaan kapasitas dan kemampuan perempuan pengusaha. Pendataan dan pencatatan usaha para anggota perlu dilakukan secara teratur dan berkala untuk melihat kemajuan dan kemampuan anggota tersebut dalam menggunaan uang yang dipinjamnya maupun produktivitasnya. Untuk pengusaha mikro yang belum memerlukan pendanaan dalam jumlah yang besar, maka perlu kebijakan dan perhatian khusus, biasanya perlu juga untuk mencarikan solusi agar kebutuhan kelompok ini terpenuhi.

Fungsi pengurus koperasi tidak hanya sebagai pimpinan yang mengatur strategi jalannya perkoperasian tetapi juga sebagai bagian dari pemberdayaan perempuan. Strategi yang penting untuk persiapan penyaluran kredit adalah dengan menggunakan sistem kelompok. Hal ini dinilai lebih efisien dan efektif karena dengan kelompok akan terbangun kerjasama yang erat berdasarkan prinsip kemitraan yang dilandasi oleh semangat kekeluargaan, kebersamaan, dan saling percaya diantara masing-masing anggota kelompok usaha. Muhammad Yunus sudah membuktikan bahwa sistem kelompok sangat baik di Bangladesh. Di Indonesia juga sistem tanggung renteng dalam kelompok telah dilakukan di Jawa Timur. Yayasan Dharma Bhakti Parasahabat, Yayasan Ganesha, Yayasan Mandiri Peduli Dhuafa, Yayasan Mitra Usaha juga telah mempraktekkan sistem kelompok ala Grameen Bank dan hasilnya pun baik. Bahkan Perusahaan Umum Pegadaian juga telah melakukan pelayanan kredit kepada kelompok perempuan dan memberikan hasil yang memuaskan.

Koperasi wanita juga dapat memanfaatkan pendanaan yang diambil dari perbankan untuk dijadikan modal dana bergulir. Tentu hal ini perlu dilakukan kesepakatan bersama anggota. Hal ini dapat dilakukan jika terjadi kerjasama yang baik antara anggota. Manfaat dana bergulir akan dirasakan bersama seperti yang telah terjadi di berbagai daerah, dimana dana bergulir telah mempercepat laju pertumbuhan ekonomi desa setempat. Misalnya Desa Rarang, Kabupaten Lombok Timur dengan koperasinya yang pernah mendapatkan modal dana bergulir telah berhasil memupuk modal sendiri menjadi dua kali lipat dalam kurun 5 tahun. Contoh lainnya untuk Kelurahan Pendem, Negara, Kabupaten Jembrana telah mengucurkan dana bergulir yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya (Seputar Indonesia, 24 Desember 2007). Cara ini lebih menjamin pelaksanaan kegiatan secara berkelanjutan untuk pemupukan modal wilayah, sekaligus lebih mencerminkan prinsip keadilan bagi kelompok perempuan miskin lain yang belum menerima dana bergulir.

Sebagai konsekuensi dari dianutnya sistem dana bergulir, maka koperasi wanita perlu unit khusus pengelola proses perguliran dana tersebut guna dapat menjamin kesinambungan dan pertanggungjawaban pengelolaan dana bergulir. Sesuai dengan lingkup kelompok sasaran dan besaran dana yang dikelola, maka unit khusus pengelola tersebut harus dibentuk dan disesuaikan dengan budaya dan kebutuhan dari masyarakat lokal, sehingga keberadaannya akan lebih tertanam dan dihargai dalam sistem kemasyarakatan yang ada.

Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa dalam kerjasama dengan perbankan, koperasi wanita akan mendapatkan bimbingan ataupun pendampingan dari bank bersangkutan agar uang yang dipinjamkan kepada koperasi dapat dikembalikan secara tepat waktu. Koperasi wanita harus ikut berperan aktif untuk memperoleh informasi dan bimbingan dari pihak bank. Proses pemberdayaan tidak hanya peningkatan pengetahuan dan keterampilan semata, tetapi harus secara nyata dituangkan dalam wujud pelaksanaan aktivitas ekonomi yang bersifat produktif. Kegiatan ekonomi ini dapat berupa pengembangan lapangan usaha yang memang telah dilaksanakan kelompok sebelumnya (sepanjang masih layak secara ekonomis) maupun pengembangan lapangan usaha baru. Kegiatan ekonomi yang dikembangkan hendaknya didukung oleh potensi ketersediaan bahan baku dan bahan pendukung di wilayah tersebut, merupakan produk unggulan di daerahnya (bersifat komparatif maupun kompetitif), serta dibutuhkan dan memiliki pasar yang nyata (demand and market driven) agar berkesinambungan.

Untuk memperlancar hubungan koperasi wanita dan perbankan, pihak koperasi wanita harus terbuka terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. Pinjaman yang diberikan kepada kelompok sasaran harus memperhatikan pula keterlibatan peran keluarga dan atau suami dari pihak perempuan yang menjadi kelompok sasaran. Pihak keluarga dan suami tersebut diharapkan dapat memberikan dukungan kepada isteri/anggota keluarganya yang menjadi kelompok sasaran, baik dalam wujud pemberian motivasi dan kesempatan untuk melakukan usaha yang menghasilkan secara ekonomi, dimana hal ini mungkin merupakan sesuatu yang relatif baru atau bahkan tabu di kalangan kehidupan komunitas tertentu. Pihak keluarga juga perlu mendapat pemahaman dalam beberapa aspek penting, seperti dana bantuan modal kerja yang diterima. Walaupun pinjaman yang diberikan pihak bank tidak terkait langsung dengan anggota koperasi, dalam kaitan pendampingan oleh pihak mitra bank tentu akan berhubungan dengan perempuan pengusaha.

Koperasi wanita juga harus memahami pola perkreditan bank agar hubungan dengan bank dapat berjalan dengan baik. Koperasi harus memahami posisinya sebagai perantara bank dengan anggota (di sini dimaksud perempuan pengusaha). Koperasi perlu mengetahui istilah-istilah yang digunakan perbankan, seperti kredit lancar, kredit kurang lancar, kredit yang diragukan, kredit macet, kredit tanpa angsuran, tunggakan angsuran pokok dan sebagainya, agar koperasi dapat mengambil langkah-langkah awal agar tidak terjadi kredit yang diragukan ataupun kredit macet.

Hubungan koperasi wanita dengan para anggotanya, khususnya perempuan pengusaha harus senantiasa dijaga baik. Permasalahan yang dihadapi oleh perempuan pengusaha merupakan permasalahan bagi koperasi sendiri. Apabila perempuan pengusaha mengalami kesulitan dalam produksi atau pun pemasaran, maka akan berdampak pada koperasi. Pengembalian yang tersendat akibat permasalahan tadi akan berdampak kepada hubungan koperasi dengan perbankan. Oleh sebab itu koperasi wanita tidak dapat meninggalkan anggotanya, terutama perempuan pengusaha.

Agar anggota koperasi wanita dapat melakukan kewajibannya, maka Koperasi wanita juga perlu memberikan pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan oleh anggota. Dalam jatidiri koperasi ada nilai-nilai swadaya, tanggung jawab, demokrasi, kebersamaan, dan kesetiakawanan. Oleh sebab itu pengurus harus memberikan pemahaman kepada anggotanya tentang perkreditan, mulai dari prosedur meminjam hingga pengamanan kredit itu sendiri. Setiap anggota yang meminjam harus menyadari kewajiban mereka untuk menjaga agar cicilan dapat dilakukan tepat waktu. Anggota juga harus belajar mengukur kemampuan diri untuk membayar tepat waktu. Di sinilah perbedaan koperasi dengan bank, koperasi dapat menjembatani pelunasan pinjaman melalui mekanisme tanggung jawab, kebersamaan dan kesetiakawanan sesuatu yang tidak dimiliki perbankan.
Nama   : Zainul Arifin
NPM   : 27211720
Kelas   : 2EB09

1 komentar: