Minggu, 30 Desember 2012

REVIEW 1 : ABSTRAK, PENDAHULUAN & POTENSI PEREMPUAN DAN PEREMPUAN PENGUSAHA

KOPERASI WANITA DENGAN PERBANKAN DALAM PENYALURAN KREDIT MIKRO BAGI USAHA PEREMPUAN
OLEH :
SULIKANTI AGUSNI
Abstrak
Jati diri koperasi, partisipasi, peranserta, kesadaran diri, kepercayaan, usaha perempuan

 
Koperasi wanita atau koperasi yang dikelola dan beranggotakan perempuan, bukanlah organisasi yang asing bagi masyarakat Indonesia. Sebagai koperasi, lembaga ini sangat berpeluang dan berperan untuk memberikan kredit mikro kepada anggotanya. Namun kepercayaan bank terhadap koperasi secara umum menjadi penghalang bagi koperasi wanita untuk berperan. Andaikan perbankan menyadari kemampuan dan peran koperasi wanita dan keikutsertaannya dalam upaya penanggulangan kemiskinan, niscaya koperasi tersebut akan lebih berperan dalam penyaluran kredit mikro bagi usaha perempuan. Sinergi perbankan, koperasi wanita dan perempuan pengusaha dipercaya akan mempercepat penurunan jumlah keluarga miskin di wilayahnya dan selanjutnya akan berdampak positif bagi lingkungan yang lebih luas.





Pendahuluan
Pada Infokop nomor terdahulu telah dijabarkan pentingnya ‘kesadaran’ (conciencious) dan peran para anggota koperasi wanita untuk kebaikan dan kemajuan, tidak hanya bagi kaum perempuan saja tetapi bagi pembangunan Indonesia secara menyeluruh. Juga telah diuraikan adanya peluang koperasi wanita sebagai penyalur kredit mikro. Koperasi wanita di sini adalah sebutan bagi koperasi yang dikelola dan beranggotakan perempuan. Pada tulisan kali ini fokus pembahasan lebih kepada koperasi wanita itu sendiri sebagai suatu lembaga koperasi yang dapat berperan aktif sebagai motor ketahanan ekonomi di wilayahnya.

Koperasi wanita telah dikenal hampir 100 tahun sejak kebangkitan bangsa Indonesia tahun 1908. Dalam buku Pergerakan Koperasi Indonesia, Bung Hatta (1957) telah menuliskan adanya koperasi yang dikelola oleh perempuan, walaupun jumlahnya masih sedikit. Koperasi tertua yang dikenal dan diakui sebagai cikal bakal koperasi wanita dipelopori oleh Ibu Hajjah Sofjan, pengrajin batik dari Persatuan Perusahaan Batik Bumiputera, Surakarta, di tahun 1930an. Mereka berkoperasi untuk mengatasi kesulitan mendapatkan bahan baku untuk membuat batik. Pergerakan perempuan ditunjukkan juga oleh ibu-ibu Pasundan Isteri (PASI) di Jawa Barat dengan mendirikan koperasi simpan pinjam di tahun 1933 untuk meringankan beban dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga.

Sekarang koperasi wanita banyak yang telah berhasil dan terus menunjukkan prestasinya sebagai lembaga yang mampu memberikan layanan kepada anggotanya dengan baik. Contohnya yang sudah dikenal seluruh Indonesia, Koperasi Setia Bhakti Wanita yang menggunakan sistem tanggung renteng untuk melayani anggotanya yang berjumlah 358 kelompok dengan asset mencapai Rp. 7 milyar, dan tunggakannya 0%. Hal ini sejalan dengan hasil kajian dan observasi sebuah lembaga swadaya masyarakat menyatakan bahwa tingkat pengembalian pinjaman anggota koperasi perempuan mencapai hamper 100%. Bahkan lembaga pembiayaan seperti Perusahaan Umum Pegadaian beberapa waktu yang lalu juga memberikan keterangan yang sama bahwa kredit yang diberikan kepada perempuan pengusaha di Tanah Abang yang jumlahnya sudah lebih dari 1000 orang, juga menunjukkan tingkat pengembalian hampir 100%.

Untuk keberhasilan koperasi wanita maupun sikap positif perempuan pengusaha tersebut di atas, tidak terlepas dari peranserta para anggota dan peran aktif pengurusnya yang selalu memperhatikan dan memahami situasi, memberikan informasi dan mendorong anggotanya untuk menjalankan usahanya dengan baik. Bung Hatta (1987) sejak lama menyadari pentingnya peran koperasi sebagai wujud dari kerjasama dan kebersamaan untuk membantu si ‘kecil’ (wong cilik). Prof. Mubyarto juga selalu menekankan pentingnya sistem ekonomi kekeluargaan. Bahkan penerima Nobel Perdamaian 2006 Prof. Muhammad Yunus dari Bangladesh juga telah memberikan contoh nyata melalui Grameen Bank serta kredit mikro kepada perempuan miskin dengan sistem ekonomi kerakyatan yang lepas dari sistem ekonomi liberal. Dalam jati diri koperasi sendiri dikenal adanya nilai-nilai swadaya, tanggung jawab, demokrasi, kebersamaan, dan kesetiakawanan. Jika ingin bersikap jujur, koperasi pertama di Rochdale sendiri tidak memasukkan unsur ekonomi liberal ke dalam aktivitas koperasi yang didirikannya.

Pertanyaannya adalah di satu sisi mampukah koperasi wanita menjalankan peran dan jati diri koperasi secara konsekuen dengan berpegang pada kerjasama dan kebersamaan? Di sisi lain, mampukah koperasi wanita bekerjasama dengan perbankan melakukan kegiatan simpan pinjam dengan tetap memegang prinsip-prinsip kebersamaan? Apakah tindakan penambahan modal dari luar oleh koperasi sejalan dengan prinsip-prinsip koperasi? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, perlu dilihat terlebih dahulu kemampuan perempuan, perempuan pengusaha dan posisi koperasi wanita itu sendiri.

POTENSI PEREMPUAN DAN PEREMPUAN PENGUSAHA
Untuk masa sekarang ini sudah diketahui bersama bahwa perempuan sebagai separuh penduduk Indonesia memiliki potensi yang harus dimanfaatkan untuk kemajuan bangsa. Sudah bukan hal yang aneh, perempuan Indonesia seratus tahun yang lalu ikut berjuang melawan penjajah dan ikut mendorong kemajuan bangsa melalui perannya sebagai ibu dan pendidik anaknya. Pada masa kemerdekaan seperti sekarang ini, perempuan telah banyak bergerak hampir di semua bidang. Namun potensi yang dimiliki perempuan sering terabaikan karena faktor budaya dan struktur yang terbentuk di lingkungan masyarakat.

Dalam masyarakat tradisional, perempuan biasanya telah memanfaatkan sumber daya sekitar dan menggunakan kearifan lokal untuk bertahan dan melanjutkan kehidupannya. Dalam dunia modern, peran-peran tradisional tersebut tetap menjadi satu kekuatan tersendiri dalam menyikapi perubahan-perubahan yang cepat terjadi. Industri-industri kerajinan rumah, tenun, batik, jamu, makanan khas daerah, hingga perdagangan umum dan industri jasa telah menjadi satu kekuatan tersendiri bagi kaum perempuan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga dan untuk meningkatkan kualitas hidup keluarga.

Perempuan terjun menjadi pengusaha dan di berbagai belahan dunia, perempuan pengusaha umumnya menjadi pengusaha yang berhasil. Fischer (1993) menilai keberhasilan ini karena perempuan ternyata lebih berhati-hati dan waspada dalam menjalankan bisnisnya dan sama efektifnya seperti laki-laki. Perempuan pengusaha cenderung lebih sadar akan resiko atas pertumbuhan yang cepat dan lebih memilih perkembangan usaha yang perlahan tapi berlanjut. Kecenderungan ini dinilai para peneliti (Cliff, 1998; Watson dan Robinson, 2002) bahwa perempuan pengusaha cenderung untuk membatasi usahanya dan mengurangi pertengkaran atau ketidaksepahaman di tempat kerja. Penelitian yang dilakukan ADB (2001) di dua kota besar di Indonesia menyimpulkan bahwa perempuan-perempuan pengusaha merupakan manajer yang baik dan sangat berhati-hati dalam mengembangkan bisnisnya. Survey yang dilakukan ADB (2002) setahun kemudian terhadap usaha kecil dan menengah menunjukkan ternyata pertumbuhan usaha yang dikelola perempuan lebih maju dari pada usaha yang dikelola laki-laki.

Keberhasilan dan pertumbuhan bisnis yang dikelola oleh perempuan tidak berbeda dengan yang dikelola laki-laki. (Hamilton, 2002). Bisnis yang dikelola perempuan memang cenderung lebih kecil, tapi bukan berarti dikelola dengan menejemen asalan, karena seperti diuraikan di atas perempuan pengusaha cenderung menjaga bisnisnya tidak tumbuh besar. Hamilton juga menemukan perempuan pengusaha akan berhadapan dengan berbagai permasalahan termasuk untuk mendapatkan kredit dan pengembangan usaha. Untuk alasan-alasan tertentu, perempuan pengusaha tidak memfokus untuk pengembangan usahanya, tetapi lebih pada penataan administrasi untuk kepuasannya dalam melakukan usaha. Lebih lanjut, keputusan yang diambil oleh perempuan pengusaha untuk membatasi pertumbuhan usahanya harus dilihat sebagai pandangan yang lebih luas daripada hanya melihat pada masalah pembiayaan, ekonomi atau pertumbuhan semata. Perempuan memiliki karakter yang lebih termotivasi oleh tujuan-tujuan yang tidak ekonomi dibandingkan laki-laki, oleh sebab itu mereka kurang agresif dan tidak terlalu melihat pada strategi pertumbuhan usaha (Chaganti, 1986).

Perempuan pengusaha juga cenderung untuk melakukan bisnis dan urusan rumah tangga bersama-sama. Mungkin ini merupakan hal yang logis sebagai konsekuensi sebagai seorang ibu tentu menghendaki adanya keseimbangan antara pekerjaan di rumah dan di perusahaan. Apalagi dalam budaya patriarkhi, tentu peran perempuan masih sering dibedakan dan dipisahkan.

Potensi tersebut di atas menyangkut perempuan sebagai individu dan pengusaha. Dari sisi koperasi, koperasi wanita juga mempunyai keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan koperasi-koperasi lainnya. Itu sebabnya sebutan koperasi wanita, yang dianggap sudah terlanjur diberikan dan melekat pada koperasi yang dikelola oleh perempuan, seolah-olah memiliki karakter dan sifat tersendiri. Sebenarnya koperasi wanita sama saja dengan koperasi-koperasi lainnya, hanya karena keistimewaannya yang dikelola dan beranggotakan para perempuan, maka terkesan koperasi wanita menjadi lain.

Koperasi wanita cenderung untuk mentaati peraturan dan melaksanakan jati diri koperasi, berarti koperasi ini mengenal adanya nilai-nilai swadaya, tanggung jawab, demokrasi, kebersamaan, dan kesetiakawanan. Contoh saja, dalam koperasi wanita, perempuan dapat melakukan pengaturan dan pengelolaan dana semaksimal mungkin bagi kepentingan anggotanya.

Koperasi wanita pada umumnya sangat berpengalaman dalam aktivitas simpan pinjam yang sudah menjadi dasar dari pembentukan koperasi sendiri di kalangan perempuan. Dari sejumlah pendataan yang dilakukan beberapa lembaga diketahui bahwa koperasi wanita umumnya berawal dari kelompok arisan dan kegiatan simpan pinjam diantara anggota arisan.
Nama   : Zainul Arifin
NPM   : 27211720
Kelas   : 2EB09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar