Minggu, 30 Desember 2012

REVIEW 2 : HASIL & PEMBAHASAN, PERAN DAN UPAYA KOPERASI DALAM MENINGKATKAN KUALITAS SUSU, HAMBATAN DALAM UPAYA PENINGKATKAN KUALITAS MANAJEMEN SAPI PERAH & KESIMPULAN


PERAN DAN UPAYA KOPERASI PETERNAK SAPI PERAH DALAM MENINGKATKAN KUALITAS SUSU DI JAWA BARAT
(The Role and Effort of Dairy Farming Cooperation to increase Milk Quality in West Java)
OLEH :
E.MARTINDAH dan R.A. SAPTATI

HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil koperasi dan peternak sapi perah
Jumlah koperasi susu di wilayah Kabupaten Bandung yang tercatat sebagai anggota GKSI Komda Jawa Barat adalah sebanyak 8 (delapan) buah, dimana yang terpilih sebagai sampel dalam pengkajian ini sebanyak 2 (dua) koperasi yaitu Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang dan Koperasi Serba Usaha (KSU) Tandangsari, Sumedang yang masing-masing mewakili topografi dataran tinggi dan dataran rendah. Profil dan karakteristik koperasi contoh disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Profil dan karakteristik KPSBU Lembang dan KSU Tandangsari tahun 2006

Sumber: Data sekunder KPSBU dan KSU Tandangsari (2006)

Tabel 1 menunjukkan bahwa KPSBU Lembang merupakan koperasi yang besar, yang tercermin dari jumlah anggota aktif diatas 5 ribu orang dan produksi susu yang dihasilkan diatas 40 ribu kg/hari (YUSDJA, 2005). Disamping itu KPSBU juga telah mengembangkan usahanya ke arah usaha down stream berupa pabrik pengolahan susu pasteurisasi dan yoghurt. Upaya ini juga ditujukan untuk menciptakan pasar baru agar dapat meningkatkan harga susu di tingkat peternak. KPSBU juga telah mempunyai pabrik pakan untuk menyediakan konsentrat bagi para peternak anggotanya. Upaya ini dilakukan agar pakan (konsentrat) yang diberikan terjamin kualitas dan kontinuitasnya sehingga dapat menghasilkan susu berkualitas tinggi.

Sementara untuk KSU Tandangsari termasuk koperasi kategori sedang, dimana jumlah anggota aktif antara 1000- 5000 orang dengan jumlah populasi sapi dan produksi susu di bawah KPSBU Lembang. Koperasi ini belum melakukan diversifikasi usaha seperti pengolahan susu dan pabrik pakan konsentrat.

Sebagian besar peternak sapi perah di wilayah pengkajian tergabung dalam wadah koperasi, yaitu KPSBU Lembang dan KSU Tandangsari. Profil peternak dan karakteristik usahanya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pofil dan karakteristik usaha peternak sapi perah di wilayah KPSBU Lembang dan KSU Tandangsari tahun 2006

 Sumber: Data primer diolah (2006)

Gambaran umum peternakan sapi perah di kedua koperasi hampir tidak berbeda dengan di wilayah lain, dimana sebagian besar usahaternak sapi perah sebagai usaha sambilan/cabang usaha, dengan skala kepemilikan induk laktasi dibawah 5 ekor. Hanya beberapa peternak yang masuk kategori skala usaha besar dengan kepemilikan sapi laktasi diatas 10 ekor. ERWIDODO dan SAYAKA (1998) menyatakan bahwa komposisi peternak sapi perah di Indonesia diperkirakan terdiri dari 80% peternak kecil kurang dari empat ekor, 17% memiliki 4-7 ekor, dan 3% memiliki ternak lebih dari 7 ekor. Rendahnya skala kepemilikan tersebut disebabkan oleh keterbatasan dana dan tenaga kerja serta sumber pakan hijauan. Selama ini peternak lebih mengandalkan tenaga kerja keluarga dan sumber pakan dari luar wilayah akibat terbatasnya lahan yang dikuasai. Hal ini sejalan dengan MULYADI et al. (1995) yang menyatakan bahwa system produksi sapi perah yang masih subsisten ditandai dengan dominasi tenaga kerja keluarga serta ketelatenan peternak yang semakin menurun pada pemilikan sapi laktasi diatas 2 ekor. YUSDJA (2005) menegaskan, semakin besar skala usaha, manajemen semakin lemah, produktivitas semakin menurun dan tehnologi bibit unggul sapi perah tidak memperlihatkan kemampuan optimal. Hal ini disebabkan oleh kesulitan dalam mendapatkan pakan hijauan dan konsentrat, terutama karena lahan bebas semakin sempit dan rendahnya daya beli.

Rataan produksi susu di KPSBU Lembang lebih tinggi dibandingkan dengan KSU Tandangsari, walaupun hal ini masih dibawah kemampuan produksi optimal sekitar 15-20 liter/ekor/hari. Bahkan di beberapa Negara produsen susu dunia, kemampuan produksi seekor sapi perah dapat mencapai 20-40 liter/hari (BARICELLO, 1987; ERWIDODO dan TREWIN, 1995 dalam ERWIDODO dan SAYAKA, 1998). Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh kondisi topografi wilayah Sumedang yang masuk kategori dataran rendah dengan temperatur lebih tinggi (panas) sehingga mempengaruhi produksi susu sapi perah yang lebih cocok di daerah dataran tinggi, disamping juga pengaruh manajemen ternak. Kondisi iklim dan lingkungan, kondisi genetik, tingkat pemeliharaan dan mutu pakan merupakan beberapa faktor penjelas masih rendahnya tingkat produktivitas sapi perah di Indonesia.

Demikian juga dengan harga susu, peternak di KPSBU Lembang memperoleh harga jual susu yang lebih tinggi dibandingkan dengan KSU Tandangsari. Kondisi ini dapat menunjukkan dua hal, yaitu manajemen peternak di KPSBU Lembang dan kualitas susu yng dihasilkan lebih baik dibandingkan dengan KSU Tandangsari. Kualitas susu yang berada diatas ketentuan yang disyaratkan, akan mendapat harga diatas harga standar, namun apabila kualitas susu berada dibawah standar yang ditentukan, maka akan mendapat harga di bawah harga standar, atau ditolak sama sekali oleh pihak IPS.

PERAN DAN UPAYA KOPERASI DALAM MENINGKATKAN KUALITAS SUSU
Standar harga susu dalam negeri masih  ditentukan secara sepihak oleh industri pengolah susu (IPS). Sampai saat ini, kualitas susu peternak rakyat mayoritas masih dibawah standar yang telah dipersyaratkan oleh IPS. Hal ini menyebabkan harga susu yang diterima peternak masih dibawah harga susu impor, yaitu sekitar 50-62%. Idealnya harga susu domestik sebesar 80% dari harga susu impor, agar ada insentif bagi peternak untuk meningkatkan populasi dan produktivitas (SETIADI, 2007). Sampai 1997, tercatat ada lima pabrik pengolah susu besar yang menguasai pangsa pasar produk susu di Indonesia, yaitu PT. Friesche Vlag Indonesia, PT. Food Specialities Indonesia, PT. Sarihusada, PT. Indomilk dan PT. Ultrajaya (CIC, 1991).

Berbagai upaya terus dilakukan oleh koperasi untuk meningkatkan produksi dan kualitas susu peternak, baik berupa bimbingan teknis, penyuluhan, sampai dengan penyediaan modal dan sarana produksi dengan harapan manajemen usaha dapat ditingkatkan sehingga kualitas susu lebih baik. Kualitas susu di kedua koperasi secara terinci dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hubungan antara rataan TS dan TPC dengan harga susu di koperasi

Kualitas susu di kedua koperasi telah memenuhi syarat yang diminta oleh IPS. Bahkan kadar kuman untuk KPSBU Lembang rata-rata telah dibawah 1 juta/ml. Hal ini tidak terlepas dari upaya koperasi untuk membenahi manajemen produksi dan keswan serta meningkatkan pengetahuan peternak. Seperti telah diketahui bahwa rendahnya produksi dan kualitas susu dalam negeri selain dipengaruhi oleh rendahnya mutu pakan karena mahalnya harga, juga karena tingginya prevalensi penyakit mastitis subklinis (80%) yang dapat menurunkan tingkat produksi sekitar 20% dan belum ditangani dengan baik. KPSBU Lembang dalam upaya penanggulangan penyakit mastitis melakukannya per cooling unit sehingga treatment dapat dilakukan terhadap sapi yang terdeteksi per cooling/kelompok. Selain mastitis, penyakit Brucellosis juga berpotensi menimbulkan kerugian yang besar karena ternak dapat mengalami keguguran. Dalam pengendalian penyakit Brucellosis KPSBU dan KSU Tandangsari telah proaktif dalam melakukan screening test. Bagi ternak yang positif langsung dilakukan slaughter. Pada tahun 2006, di wilayah KPSBU ada 88 ternak yang positif, dan langsung dilakukan penyembelihan bagi ternak yang positif. Sedangkan di KSU Tandangsari dari 400 sampel yang sudah diuji belum ada yang menunjukan positif. Upaya lain dalam pengendalian penyakit Brucellosis dengan dilakukan screening terhadap semua hewan yang masuk dari wilayah lain bekerjasama dengan Dinas Peternakan.

Selain pengendalian penyakit di atas, KPSBU juga melakukan manajemen antibiotik bagi ternak-ternak yang sedang dalam pengobatan (pemberian antibiotik). Susu yang berasal dari ternak-ternak tersebut dibuang ke tempat prosesing limbah tidak disatukan dengan susu yang lain (± 300 liter/hari), tetapi susu tersebut tetap dibeli oleh koperasi.
Pengelolaan yang berorientasi pada kualitas yang baik harus dipersiapkan dari hulu (peternak) sampai ke hilir (diterima di IPS). Pembenahan manajemen di tingkat peternak dilakukan oleh KPSBU sejak 2004 melalui pendidikan dan pelatihan dasar berkoperasi bagi setiap anggota. Selain itu juga dilakukan penyuluhan untuk memperbaiki manajemen peternak dengan materi manajemen pakan, manajemen kebersihan alat-alat susu serta manajemen pemerahan. Penerapan harga susu yang berorientasi pada kualitas, dilakukan melalui penerapan reward dan punishment. Penetapan harga berdasarkan kualitas susu akan mempengaruhi harga jual susu yang diterima peternak (SETIADI, 2006).

Adapun manajemen di tingkat koperasi meliputi manajemen pelayanan teknis peternakan yaitu IB, Keswan serta penyuluhan, selain itu juga manajemen pendinginan susu, manajemen stock, manajemen kebersihan alat serta manajemen quality control (QC).

HAMBATAN DALAM UPAYA PENINGKATAN KUALITAS MANAJEMEN SAPI PERAH
Kekurangan hijauan pakan ternak (HPT)
Kekurangan HPT saat ini tidak hanya terjadi pada saat musim kemarau tetapi juga di musim hujan. Hal ini terjadi karena beralihnya lahan hijauan menjadi pemukiman/pariwisata, apalagi wilayah sapi perah biasanya berada di wilayah pegunungan yang sejuk dan indah, sehingga menjadi daya tarik pengembangan wisata. Peternakan sapi perah membutuhkan lahan yang cukup luas, tetapi di Indonesia peternakan sapi perah terkendala oleh keterbatasan lahan. Kondisi ini menimbulkan permasalahan, yaitu: (1) sulitnya meningkatkan kepemilikan sapi karena peternak tidak sanggup mencari HPT lebih banyak, (2) HPT harus didatangkan dari tempat yang jauh sehingga memerlukan korbanan waktu yang tinggi. Rata-rata peternak memerlukan 8 jam untuk pengadaan HPT sehingga kegiatan lain seperti recording, pengamatan birahi dan lainnya menjadi terbengkalai, serta (3) karena didatangkan dari tempat yang jauh maka memerlukan biaya tansportasi yang tinggi sehingga HPT menjadi mahal dan menyebabkan tingginya biaya produksi sehingga mengurangi pendapatan peternak, (4) kelangkaan HPT telah mengubah perilaku peternak dalam memelihara sapi perah, HPT yang seharusnya diberikan 10% dari berat
badan sapi tidak pernah terpenuhi. Untuk menambah kekurangan HPT peternak mensubstitusi dengan onggok singkong, ampas tahu, ampas bir. Penggunaan pakan selain rumput sudah melebihi ketentuan dan menimbulkan berbagai penyakit pencernaan dari yang ringan sampai displasia abomasum dan penurunan produksi susu sapi (SETIADI, 2006).

Untuk menanggulangi kekurangan HPT, KPSBU Lembang dan KSU Tandangsari telah melakukan kerjasama dengan Perum Perhutani untuk melakukan penanaman HPT di hutan melalui program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat), peternak diizinkan menanam HPT di bawah tegakan tanaman pokok hutan. Tetapi program ini sulit dilakukan bagi peternak kecil yang tinggalnya jauh dari hutan, karena HPT yang seharusnya murah menjadi mahal disebabkan biaya transportasi.

Tingginya angka mutasi sapi
Dari evaluasi data recording koperasi persusuan yang telah menggunakan SiSi (Sistim informasi Sapi perah Indonesia) angka mutasi cukup tinggi. Hal ini berhubungan dengan rendahnya pemilikan sapi, dimana peternak yang hanya memiliki 2 ekor sapi apabila terjadi masalah pada seekor sapinya akan mengambil solusi dengan menukar atau menjual sapinya. Keadaan ini tentunya sangat tidak menguntungkan.

KESIMPULAN
Pengembangan usaha peternakan sapi perah di Indonesia sangat prospektif. Pemberlakuan persyaratan kualitas susu oleh IPS sesuai dengan ketentuan GKSI telah memacu koperasi susu untuk berupaya dalam meningkatkan kualitas susu dengan pengelolaan yang berorientasi dari hulu (peternak) sampai ke hilir (diterima IPS). KPSBU telah melakukan pembenahan manajemen di tingkat peternak sejak 2004 melalui pendidikan dan pelatihan dasar berkoperasi bagi setiap anggotanya. Demikian pula KSU Tandangsari telah membenahi manajemen produksi dan keswan dengan meningkatkan pengetahuan peternak.

Koperasi susu KPSBU dan KSU Tandangsari telah proaktif beerjasama dengan Dinas Peternakan dalam pengendalian penyakit Brucellosis melalui screening test terhadap semua sapi yang ada di wilayahnya dan bagi ternak yang masuk dari wilayah lain. Pengendalian penyakit mastitis oleh KPSBU dilakukan per cooling unit, sehingga memudahkan penanganannya. Demikian halnya dalam melakukan manajemen antibiotic, susu yang berasal dari ternak yang diobati dengan antibiotic susunya dibuang ke tempat prosesing limbah namun tetap dibeli oleh koperasi. Penerapan harga susu berorientasi pada kualitas dilakukan melalui reward and punishment sehingga mempengaruhi harga jual susu peternak.
Nama  : Zainul Arifin
NPM   : 27211720
Kelas   : 2EB09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar