Minggu, 30 Desember 2012

REVIEW 1 : ABSTRAK, PENDAHULUAN & URAIAN TEORITIS


PENGEMBANGAN KONSEP BISNIS KOPERASI
OLEH :
BEZISOKHI LAOLI
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) menggali konsep-konsep genuine berekonomi dari realitas masyarakat Indonesia; (2) menempatkan konsep genuine berekonomi sebagai landasan utama pengembangan bisnis koperasi ala Indonesia; (3) menunjukkan bukti empiris bahwa ternyata masyarakat Indonesia memang memiliki keunikan tersendiri memahami koperasi dan (4) memberikan masukan konstruktif bagi pengambil kebijakan perkoperasian dalam pengembangan koperasi ke depan. Metode penulisan menggunakan metode tinjauan literature. Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa konsep kemandirian, kompetisi inti kekeluargaan dan sinergi produktif-intermediasiretail merupakan substansi pengembangan koperasi sesuai realitas masyarakat Indonesia yang unik. Meskipun perkembangannya saat ini banyak tereduksi intervensi kebijakan dan subordinasi usaha besar. Diperlukan kebijakan, regulasi, supporting movement (bukannya intervention movement), dan strategic positioning (bukannya sub-ordinat positioning) berkenaan menumbuhkan kembali konsep kemandirian, kekeluargaan dan sinergi produktif-intermediasiretail yang komprehensif.

PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Perkembangan ekonomi dunia saat ini merupakan saling pengaruh dua arus utama, yaitu teknologi informasi dan globalisasi. Teknologi Informasi secara langsung maupun tidak langsung kemudian mempercepat globalisasi. Berkat teknologi informasi, perjalanan ekonomi dunia makin membentuk “dirinya” yang baru, menjadi Kapitalisme Baru berbasis Globalisasi (Capra 2003; Stiglitz 2005; Shutt 2005). Perkembangan ekonomi inilah yang biasa disebut Neoliberalism. Gelombang besar neoliberalism merupakan puncak pelaksanaan 10 kebijakan Washington Consencus tahun 1989.

Neoliberalism saat inipun telah memasuki hamper seluruh system perekonomian Indonesia. Bentuk neolebiralisme tersebut dapat dilihat dari bentuk kepatuhan terhadap mekanismepasar dengan “inflasi sehat” menurut ukuran makro ekonomi. Neoliberalisme juga dilakukan melalui deregulasi dan leberalisasi/privatisasi kelembagaan. Keduanya berujung integrasi dan liberalisasi perdagangan Indonesia dalam lingkaran global, lintas batas Negara-negara5.

Di sisi lain, Indonesia setelah memasuki era reformasi melalui amandemen UUD 1945 tetap mengusung asas demokrasi ekonomi. Meskipun demokrasi ekonomi yang dimaksud malah menjadi kabur setelah adanya penambahan dua ayat (ayat 4 dan 5) dalam pasal 33 UUD 1945. Dijelaskan Mubyanto (2003) bahwa pikiran di belakang ayat baru tersebut adalah paham persaingan pasar bebas atau neoliberalisme. Kekeliruan lebih serius dari amandemen UUD 1945 adalah hilangnya kata “sacral” koperasi sebagai bentuk operasional ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi yang sebelumnya tercantum dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945. Hilangnya kata koperasi, telah menggiring bentuk usaha sesuai pasal empat, yaitu diselenggarakan dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadlan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Efisiensi berkeadilan menurut Mubyanto (2003) jelas memiliki kontradiksi sekaligus bernuansa liberalisme.

Bagaiman koperasi sendiri? Apakah sudah siap dengan kenyataan sejarah seperti itu? Apakah koperasi memang talah melakukan “strategic positioning” sebagai wadah anggotanya “berkerjasama” untuk kesejahteraan bersama anggot serta masyarakat, bukannya bekerja “bersama-sama” untuk kepentingan masing-masing anggota , atau malah manajer dan atau pengurus koperasi? Apakah koperasi juga telah sesuai impian the founding father, menjadi sokoguru perekonomian Indonesia?

Apakah jawabannya adalah tekad Dekopin sebagai wadah berkumpulnya koperasi-koperasi dengan Pencanangan Program Aksi Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin 2006)? Atau dengan salah satu Visi Pembangunan KUKM Kantor Menteri Negara Koperasi dan UKM berkenaan realisasi 70.000 Koperasi Berkuallitas tahun 2009.

Banyak sudah progam-program prestisius pengembangan koperasi. Koperasi juga tak kunjung selesai dibicarakan, didiskusikan, “direkayasa”, diupayakan pemberdayaan dan penguatannya. Pendekatan yang dilakukan mulai dari akademis (penelitian, pelatihan seminar-seminar, sosialisasi, teknologi), pemberdayaan (akses pembiayaan, peluang usaha, kemitraan, pemasaran, dll), regulatif (legislasi dan perundang-undangan), kebijakan public (pembentukan kementrian khusus di pemerintahan pusat sampai dinas di kota/kabupaten, pembentukan lembaga-lembaga profesi), sosiologis (pendampingan formal dan informal), behavior (perubahan perilaku usaha, profesionalisme) bahkan sampai pada pendekatan sinergis-konstruktif (progam nasional Jaring Pengaman Nasional, pengentasan kemiskinan, Pembentukan Lembaga Penjaminan, Pembentukan Dekopin dari daerah sampai nasional.

2.      Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) menggali konsep-konsep genuine berekonomi dari realitas masyarakat Indonesia; (2) menempatkan konsep genuine berekonomi sebagai landasan utama pengembangan bisnis koperasi ala Indonesia; (3) menunjukkan bukti empiris bahwa ternyata masyarakat Indonesia memang memiliki keunikan tersendiri memahami koperasi dan (4) memberikan masukan konstruktif bagi pengambil kebijakan perkoperasian dalam pengembangan koperasi ke depan.



URAIAN TEORITIS
1.     Koperasi Indonesia
Sarman (2007) menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi saat ini hanya diarahkan pada kepentingan ekonomi sempit. Dalam perspektif lebih luas perlu perencanaan tujuan pembangunan yang diarahkan kepada pembangunan manusia, bukan terjebak disekitar pembangunan ekonomi. Tujuan pembangunan ekonomi seharusnya tidak sekedar terpusat meisalnya pada pertumbuhan, tetapi harus dapat mempertahankan struktur social dan budaya yang baik. Pembangunan ekonomi yang banyak merubah keadaan social dan budaya menjadi negative merupakan penyebab munculnya masalah moral.

Mubyarto (2002) menjelaskan ekonomi saat ini juga tidak harus dikerangkakan pada teori-teori Neoklasik versi Amerika yang agresif khususnya dalam ketundukannya pada aturan-aturan tentang kebebasan pasar, yang keliru menganggap bahwa ilmu ekonomi adalah obyektif dan bebas nilai, yang menunjuk secara keliru pada pengalaman pembangunan Amerika, dan yang semuanya jelas tidak dapat menjadi obat bagi masalah-masalah masyarakat Indonesia dewasa ini.

Logika modernisasi menurut kerangka filosofis kapitalisme berkenaan pemberdayaan berada pada bagaimana mendekatkan dikotomi  antara kepentingan privat dan public lewat media kelembagaan (mega structures). Hal ini terjadi karena menurut Nugroho (2001) Barat mengidentifikasikan realitas makro sebagai lembaga bersifat makro, obyektif serta politis (public sphere) baik berbentuk konglongmerasi para pemilik modal, birokrasi, asosiasi tenaga kerja dengan skala besar, profesi terorganisir dan lainnya.

Masalahnya mega-structures tersebut cenderung mengalienasi dan tidak memberdayakan eksistensi individu (private sphere). Untuk menjembatani hal tersebut diperlukan intermediasi privat-publik model kapitalisme. Lembaga mediasi (mediating institutions) di satu sisi member makna privat, tetapi di sisi lain mempunyai arti public, sehingga mampu mentransfer makna dan nilai privat ke dalam pemaknaan struktur makro.

Hanya masalahnya liberalism yang sekarang berevolusi menjadi neoliberalisme dan telah merambah Indonesia, mulai dari kebijakan sampai aksi konkritnya tidak bersesuaian dengan koridor intermediasi seperti itu. Seperti dijelaskan di muka bahwa neoliberalisme telah merasuk ke seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia. Faham liberal menurut Nugroho (2001) lebih mempertahankan hak-hak individu dan cenderung menegasikan bahwa privat sphere memiliki kosekuensi public sphere. Bahkan lembaga intermediasi (seperti lembaga keagamaan, sosial-ekonomi termasuk koperasi) cenderung dipertentangkan bahkan digiring menjadi area privat sphere.

Ekonomi rakyat yang sejatinya dicoba untuk menjadi pola bebas dari substansi intermediasi dan dikotomi privat sphere dan public sphere, seperti Koperasi, malah menjadi representasi kooptasi globalisasi dan neoliberalisme dan secara tidak sadar mematikan dirinya sendir secara perlahan-lahan. Istilah ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, misalnya dijelaskan Mubyarto (2002) bukanlah kooptasi dan pengkerdilan usaha mayoritas rakyat Indonesia, tetapi merupakan kegiatan produksi dan konsumsi yang dilakukan oleh semua warga masyarakat dan untuk warga masyrakat, sedangkan pengelolaannya dibawah pimpinan dan pengawasan anggota masyrakat.

Bentuk Koperasi jelas bukanlah lemaga intermediasi seperti logika modernitas dan kapitalisme. Sehingga treatment pengembangannya jelas harus unik dan memiliki diferensiasi dengan pengembangan koperasi di negaa lain atau bahkan Barat. Bentuk koperasi yang unik tersebut sebenarnya telah didefinisikan secara regulative oleh Negara. Definisi koperasi dapat dilihat secara tekstual pada pasal 1 UU No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian, yaitu sebagai badan usaha yang beranggotakan orang, seorang atau badan hukum koperasi melandaskan kegiatannya berdasarkan prisnsi koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Secara umum definisi tersebut memberikan gambaran bahwa koperasi merupakan bentuk dari gerakan ekonomi rakyat. Kekhasan koperasi sebagai gereakan ekonomi rakyat adalah aktivitasnya dilandasi dengan asas kekeluargaan. Artinya, koperasi ala Indonesia memiliki dua kata kunci, ekonomi rakyat dan kekeluargaan. Mudahnya, koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat memerlukan definisi operasionalnya sendiri, sesuai realitas masyarakat Indonesia.

Usulan Arif (1995) untuk memperbaiki ekonomi nasional dengan cara reformasi sosial yang mendasar, “an effective development state”. “an effective development state” adalah suatu elit kekuasaan yang mempunyai sifat dan perilaku; (1) bebas dari kepentingan pihak manapun kecuali kepentingan rakyat banyak, (2) bebas dari godaan untuk memperkaya diri sendir dan keluarga dengan menggunakan kekuasaan yang dipegangnya, (3) mengatur suatu ideologi poloitik yang melihat rakyat banyak, pro keadilan, anti penindasan, anti feodalisme, nepotisme dan depotisme, menjunjung tinggi integritas, menghargai kerja nyata dan “committed” terhadap emansipasi kemanusiaan untuk semua orang, (4) tidak melaksanakan pemerintahan suatu Negara sebagai suatu “soft state”, yaitu suatu pemerintahan yang lemah dan tidak beranim melaksanakan tindakan hukum terhadap segala bentuk penyimpangan yang menghambat proses tranformasi sosial yang hakiki. Ringkasan Arif lebih setuju pernyataan Hatta; “Yang kita inginkan ialah rakyat yang memiliki kedaulatan bukan negara yang memiliki kedaulatan“.

2.     Jantung Organisasi Bisnis
Prahalad dan Hamel (1994) mendefinisikan kompetensi inti (core competencies) sebagai suatu kumpulan keahlian dan teknologi yang memungkinkan suatu organisasi memiliki positioning agar member manfaat lebih efektif untuk pelanggan. Organisas mempunyai kompetensi yang perlu (necessary competencies). kompetensi-kompetensi yang perlu adalah semua kompetensi yang menciptakan nilai, sedangkan kompetensi yang membedakan adalah kompetensi-kompetensi yang member organisasi tertentu atau kelompok organisasi suatu posisi kompetitif (misalnya penguasaan pasar reputasi ilmiah.

Hamel dan Prahalad (1994) menjelaskan bahwa suatu organisasi perlu memperhatikan keberhasilannya di masa depan sebagai persiapan untuk pengembangan dan kerja sama kompetensi untuk meraih keunggulan produk dan jasa yang baru. Dengan begitu, strategi daya saing pasar masa depan mengharuskan para manajer puncak suatu organisasi untuk menyesuaikan kompetensi inti organisasi dan strategi serta kerja sama pengelolaan sumber daya untuk keberhasilannya.

Mudahnya, kompetensi inti atau core competencies, pertama, dalam jangka pendek memang memiliki suatu keunggulan yang dimiliki perusahaan disertai kemampuan produk; kedua, dalam jangka panjang dikembangkan untuk konsolidasi dengan kesamaan visi-misi organisasi yang kuat; ketiga, memerlukan kemampuan dan ketangguhan dari para penggiat organisasinya. Artinya, kebutuhan setiap organisasi melakukan bisnis tidak hanya mementingkan diferential advantage, karena hal itu hanya bersifat jangka pendek dan lebih berorientasi pada produk. Organisasi bisnis agar dapat menjalankan going concern dan kuat bertahan pada lingkungan yang selalu berubah, diperlukan core competence yang memiliki keunggulan visioner serta kemampuan “collective learning” para penggiat organisasinya. Kata kunci core competence agar dapat menjalankan peran going concern dan adaptif, adalah pada “harmonizing streams of technology” dan “decisively in services”.

Nama   : Zainul Arifin
NPM   : 27211720
Kelas   : 2EB09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar