Minggu, 05 Mei 2013

REVIEW 3 : ANALISIS PERMASALAHAN DENGAN TRIPs


Perlindungan Hukum Hak Cipta Software Program Komputer di Indonesia
OLEH :
Hasbir Paserangi
JURNAL HUKUM NO. EDISI KHUSUS VOL. 18 OKTOBER 2011: 20 - 35

Analisis Permasalahan dengan TRIPs
Dari apa yang telah diuraikan terdahulu berkaitan dengan TRIPs, maka dapat dianalisis permasalahan dengan TRIPs sebagai berikut: 1) kesepakatan TRIPs dihasilkan dari proses perundingan yang tidak transparan, tidak partisipatif, tidak seimbang dan tidak demokratis dimana materi perundingan didominasi dan didesakkan oleh negara maju. Akibatnya perjanjian TRIPs lebih mengakomodasi kepentingan negara maju dan perusahaan multinasional; 2) terdapat indikasi bahwa TRIPs justru akan meningkatkan arus dana dari negara berkembang ke negara maju melalui pembayaran royalti, mengingat sebagian besar pemegang paten dunia, begitu juga pemegang hak cipta untuk piranti lunak software/program komputer berasal dari negara maju. Juga tidak ada indikasi bahwa negara maju akan melakukan alih teknologi dengan cuma-cuma kepada negara berkembang, apabila diadakan perlindungan HKI, mengingat perusahaan multinasional dari negara majulah sebenarnya yang menjadi subyek perlindungan HKI seperti pada paten. Sebaliknya TRIPs akan menghambat pengembangan pengetahuan lokal. Selain itu pelaksanaannya di negara berkembang juga memerlukan biaya yang tinggi, yaitu 15 juta dollar AS untuk Indonesia; 3) TRIPs memaksakan paradigma perlindungan HKI yang seragam di negara anggota WTO, padahal ada perbedaan mendasar dalam perspektif memandang HKI antara negara berkembang dan negara maju. Negara maju menganut sistem perlindungan HKI modern yang memberikan hak eksklusif pada individu atas ilmu dan penemuannya. Negara berkembang dengan masyarakat yang masih tradisional, justru menganggap peniruan karya dan pengetahuan sebagai penghargaan tertinggi atas karya tersebut. TRIPs secara tidak demokratis menghukum negara berkembang atas perbedaan perspektif ini.

Harmonisasi Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dengan
Struktur dan Budaya Hukum Masyarakat Indonesia. Hukum merupakan sarana untuk mengatur kehidupan sosial, namun hal yang menarik adalah justru hukum tertinggal di belakang objek yang diaturnya. Dengan demikian selalu terdapat gejala bahwa antara hukum dan perilaku sosial terdapat suatu jarak perbedaan yang sangat mencolok. Apabila hal ini terjadi, maka akan timbul ketegangan yang semestinya harus segera disesuaikan supaya tidak menimbulkan ketegangan yang berkelanjutan, tetapi usaha ke arah ini selalu terlambat dilakukan. Semestinya, pada waktu itulah dapat ditunjukkan adanya hubungan yang nyata di antara perubahan sosial dan hukum yang mengaturnya, sebab perubahan hukum baru akan terjadi apabila sudah bertemunya dua unsure pada titik singgung, yaitu adanya suatu keadaan baru dan adanya kesadaran akan perlunya perubahan pada masyarakat yang bersangkutan.

Lawrence M. Friedmann, mempertanyakan apakah hukum mengakibatkan proses perubahan sosial, atau justru mengikuti proses perubahan sosial? Apakah hukum menjadi penggerak atau salah satu penggerak saja yang mengakibatkan perubahan sosial? Ataukah perubahan sosial selalu berasal dari masyarakat yang besar yang kemudian meluber ke sistem hukum? Apakah sistem hukum merupakan sistem yang hanya menyesuaikan diri dengan atau mengakomodasi perubahan besar yang sedang terjadi di luar sistem hukum? Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, Lawrence M. Friedman mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu secara tuntas. Yang jelas kenyataan menunjukkan bahwa hukum mengikuti perubahan sosial dan menyesuaikan dengan perubahan itu.

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka dapat diketahui bahwa perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat akan membawa konsekuensi pada perubahan hukum dalam berbagai aspek kehidupan karena berbagai aspek tersebut saling kait mengkait satu dengan yang lain. Oleh karena kehidupan masyarakat terus berubah sesuai dengan perkembangan zaman, maka berubah pula budaya masyarakat di suatu tempat yang pada akhirnya diikuti pula dengan perubahan hukum.

Telah diulas sekilas pada uraian terdahulu bahwa saat ini selain pendukung Hak Kekayaan Intelektual juga telah mulai berkembang gerakan atau pemikiran baru, yaitu yang “anti HKI “. Gerakan seperti ini merupakan suatu antitesis dan hal itu sesuatu yang wajar, baik dalam kehidupan keilmuan maupun kenyataan praktek. Mereka juga tidak semata-mata bergerak tanpa dasar. Dari segi filsafat hukum gerakan mereka dapatlah digolongkan dengan dasar pemikiran yang beraliran hedonistic utilitarianism yang bersandarkan kepada pendapat Jeremy Bentham, yaitu bahwa perundangan itu hendaknya dapat memberikan kebahagiaan yang terbesar bagi sebagian besar masyarakat (the greatest happiness for the greatest number). Gerakan seperti itu di negara-negara Timur (Asia) termasuk Indonesia, bahkan lebih mendapat tempat karena kebanyakan masyarakat berprinsip adanya suatu kebebasan dalam menggunakan karya intelektual, mereka masih bersifat komunal.

Menurut Budi Rahardjo, penganut anti HKI bukan menganjurkan pembajakan atau pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual, melainkan mereka menganjurkan untuk mengembalikan kepemilikan kepada umat manusia, misalnya membuat temuan menjadi public domain. Hak Kekayaan Intelektual sudah dimonopoli oleh negara besar dan perusahaan besar sehingga manfaat bagi manusia menjadi nomor dua. Gerakan dan pemikiran tersebut mengharapkan bahwa dalam pengaturan Hak Kekayaan Intelektual juga harus diperhatikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat secara luas (public) tidak semata-mata mengedepankan kepentingan individu saja.

Dari apa yang diuraikan di atas, dengan mengakomodir ketentuan-ketentuan yang ada pada Konvensi Bern dan TRIPs dan tetap mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham bahwa perundangan itu hendaknya dapat memberikan kebahagiaan yang terbesar bagi sebagian besar masyarakat (The greatest happiness for the greatest number) serta dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional dari negara berkembang dan akar budaya masing-masing, maka akan melahirkan harmonisasi hukum yang saya istilahkan dengan “fungsi sosial hak cipta yang proporsional”.

Bentuk Penegakan Hukum Hak Cipta Program Komputer (Software) di Indonesia
Masalah HKI tidak kunjung selesai. Butuh kesadaran setiap orang untuk menghargai sebuah karya cipta. Indonesia bisa dikatakan surganya pembajakan perangkat lunak (software). Hal ini dibuktikan dengan mudahnya setiap orang bisa mendapatkan media optik seperti CD, VCD dan DVD bajakan. Bahkan bajakmembajak dalam industri kreatif (program komputer) di Indonesia merupakan hal yang sering terjadi. Orang dengan mudah men-download sebuah lagu lewat internet.

Prosedur penegakan hukum di bidang hak cipta memiliki persamaan di berbagai negara yang umumnya mencakup prosedur perdata (civil procedure) serta prosedur pidana dan administratif (criminal and administratif procedure).

Nama   : Zainul Arifin
NPM   : 27211720
Kelas   : 2EB09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar