Minggu, 05 Mei 2013

REVIEW 2 : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Perlindungan Hukum Hak Cipta Software Program Komputer di Indonesia

OLEH :
Hasbir Paserangi
JURNAL HUKUM NO. EDISI KHUSUS VOL. 18 OKTOBER 2011: 20 - 35

Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pengaturan Hak Cipta Yang Mencerminkan Prinsip-Prinsip Dalam TRIPs.
Peraturan perundang-undangan di bidang HKI mengikuti laju berkembangnya teknologi, industri, dan perdagangan. Contoh yang klasik, yaitu sewaktu mesin cetak ditemukan oleh Gutenberg, maka pencetakan buku atau menyalin (mengcopy) menjadi sesuatu yang mudah. Sebelumnya mengopi sebuah buku memakan waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun sehingga harga per satuan bukunya pun menjadi mahal. Dengan adanya mesin cetak, maka sebuah buku dapat digandakan dengan cepat sehingga dapat disebarluaskan dengan harga yang relative jauh lebih murah. Memperhatikan kondisi seperti itu, maka pengaturan di bidang HKI dan peraturan perundang-undangannya pun akan cepat berubah guna mengikuti perkembangan masyarakat.

Keadaan tersebut sangat terlihat dengan dilakukannya pembaruan konvensikonvensi internasional di bidang Hak Kekayaan Intelektual. Konvensi Berne untuk Perlindungan Karya Sastra dan Seni (Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works) telah beberapa kali diubah, yaitu tahun 1908, 1928, 1948, dan 1971. Hal seperti itu pun berlangsung dan dialami oleh Indonesia. Sebagai contoh, terlihat dari Undang-Undang Hak Cipta yang sering diperbarui, sampai kini sudah empat kali Indonesia merevisi undang-undang tersebut, dimulai dengan Undang Undang N0.6 Tahun 1982, Undang-Undang No7 Tahun 1987, kemudain direvisi dengan Undang-Undang N0.12 Tahun 1997, dan Terakhir dengan UUHC. Begitu pula dengan Cina pada tahun 2001 telah merevisi UUHC (1991) dan kemudian 1 Januari 2002 mulai memberlakukan Peraturan Perlindungan Piranti Lunak Komputer sebagai pelengkap Undang-Undang Hak Cipta (2001)

Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Cipta
Dalam Djumhana dijelaskan bahwa doktrin-doktrin yang berkembang dalam perlindungan Hak Cipta, yaitu4: 1) doktrin Publisitas (Right of Publicity); 2. Making Available Right dan Merchandising right; 3. doktrin Penggunaan yang Pantas (Fair use/ Fair dealing); 4. doktrin Kerja Atas Dasar Sewa (the Work Made for Hire Doctrine); 5. perlindungan (Hak) Karakter; 6. pengetahuan Tradisional (Traditional Knowledge) dalam Lingkup Keterkaitan Hak Cipta; 7. cakupan-Cakupan Baru dalam Perlindungan Hak Cipta; 8. software free, copyleft, open source.

Perluasan cakupan hak cipta didasarkan pada ajaran manfaat (utilitarianism) yang sudah digunakan sejak dahulu, dan sekarang ditambah dengan pikiran bahwa semakin banyaknya pasar karya berhak cipta menuntut adanya suatu system perangsang yang berimbang dan ini berarti menuntut perluasan Hak Cipta ke pasarpasar yang baru ini.

Berkaitan dengan ajaran manfaat (utilitarianism), hal senada juga dikemukakan oleh Hayyanul Haq bahwa HKI memang idealnya memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada rakyat banyak sebagaimana yang diajarkan oleh Jeremy Bentham “the greatest happines for the greatest number”.

Kenyataan seperti diuraikan di atas telah diterapkan dalam Undang-Undang Baru Hak Cipta Indonesia, yaitu pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, cakupan hak cipta juga telah meliputi: 1) perlindungan terhadap data base; 2) pengaturan tentang penggunaan sarana informasi teknologi seperti cakram optik (optical disc); 3) pencantuman hak informasi manajemen elektronik dan sarana kontrol teknologi; 4) perlindungan terhadap produk-produk yang menggunakan sarana produksi berteknologi tinggi dan juga mekanisme pengawasan perlindungan tersebut.

Cakupan baru dari perlindungan hak cipta sebagaimana disebutkan di atas, sangat berkaitan erat dengan perlindungan atas karya cipta perangkat lunak computer (software) dan teknologi digital. Menurut F.W.Grosheide, Professor Intellectual Property Law Faculty of Law, Economics and Governance Mollengraaff Institute of Privat Law Utrecht University, menjelaskan bahwa; (terjemahan bebas saya sebagai berikut): “Perkembangan perlindungan terhadap karya cipta perangkat lunak komputer (software) atau program komputer dimulai dari Konvensi Bern (1971). Digolongkannya program komputer sebagai hasil karya yang berbasis teks atau tulisan (Literary Works) menurut Konvensi Bern karena adanya proses penulisan kode-kode perintah (coding) dari pencipta yang memerlukan selain penguasaan pengetahuan yang cukup dalam teknik dan bahasa pemrograman juga kesabaran dalam penulisan kode-kode tersebut, sehingga dihasilkan kode sumber (source code) yang berupa teks yang hanya dapat dimengerti oleh ahlinya. Oleh karena itulah program komputer dilindungi dengan hak cipta, bukan hak paten dan sampai saat ini saya belum mendengar baik di Negara Eropa maupun di Amerika yang mempatenkan Program Komputer”

Free Software, Copyleft, Open Source
Dalam perkembangan di bidang komputer, permasalahan HKI sangat erat hubungannya terutama dalam perlindungan perangkat lunak komputer dengan bentuk perlindungan hak cipta. Praktek rezim perlindungan hak cipta terhadap perangkat lunak yang sangat berlebihan mulai memunculkan gerakan perlawanan berupa gerakan free software, copyleft, dan open source.

Menurut Budi Rahardjo, dalam makalahnya “Apakah Negara Berkembang Memerlukan Sistem Perlindungan HKI”, menjelaskan sebagai berikut: Gerakan copyleft merupakan gerakan anti terhadap copyright. Kata “copyleft” sendiri merupakan pelesetan terhadap kata “copyright”, di mana kata “right” (yang diartikan sebagai kanan) digantikan dengan “left” (yang diartikan sebagai kiri). Selain interpretasi sebagai kata arah pergerakan (kanan dan kiri), kata “left” juga diartikan sebagai “ditinggalkan” di mana karya yang copyleft tersebut harus ditinggalkan dalam bentuk sebelumnya dan tidak dapat diikutsertakan dalam copyright berikutnya.

Gerakan free software dimotori oleh Richard Stallman dari MIT yang merasa bahwa software seharusnya bersifat “free”. Kata “free” ini sering membuat kebingungan banyak orang karena dalam bahasa Inggris kata ini memiliki arti dua, free yang berarti gratis (tidak bayar), dan free yang berarti bebas (berasal dari kata”freedom”).

Stallman sebetulnya lebih memfokuskan kepada arti yang kedua, yaitu free sebagai freedom meskipun hampir semua implementasi free software adalah gratis. Di Indonesia,arti kedua ini diterjemahkan sebagai “bebas”. Jadi, “free software” ini diterjemahkan menjadi “software bebas”. Free software yang dikembangkan oleh free software movement ini dapat Anda gunakan sesuka Anda. Richard Stallman mengimplementasikan free software ini dalam bentuk software-software yang diberinama GNU.

Gerakan Open Source mulai terlihat dengan populernya sistem operasi Linux yang dikembangkan oleh Linus Torvals. Sumber dari software, yang disebut source code, merupakan inti dan fungsi software. Source code inilah yang mulanya dianggap sebagai aset bagi sebuah perusahaan software sehingga dia dijaga mati-matian agar tidak dilihat oleh kompetitor. Gerakan open source justru membuka source code dari software-software yang dikembangkan sehingga dapat dilihat oleh siapa pun. Ada banyak manfaat dari pendekatan open source ini, yaitu antara lain; dapat dikembangkan oleh orang banyak, dapat diubah atau dikembangkan sendiri jika ada masalah, orang dapat melihat ide-ide atau cara mengimplementasikan dari sebuah software. Akibat dari keterbukaan ini banyak muncul software baru dan inovasi baru, yang justru menjadi tujuan dari perlindungan HKI pada mulanya. Perlu diingat bahwa software yang open source bukan berarti harus gratis (tidak bayar) dan masih bisa menggunakan per-lindungan copyright (bahwa code ini hak ciptanya dimiliki oleh Programmer). Ini yang membedakan dia dengan free software yang memang benar-benar bebas.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa berdasarkan data survey International Data Cororation (IDC) tahun 2007, Indonesia berada pada urutan ke 12 dari 108 negara dengan angka penggunaan software (perangkat lunak) illegal mencapai 84%. Angka presentase ini menunjukkan perbaikan dibandingkan tahun sebelumnya yakni pada tahun 2006 yang mencapai 85%. Meskipun begitu, tingkat pembajakan software illegal hanya bisa dikurangi 1% saja dalam waktu satu tahun dari tahun 2006-2007. Dilihat dari data ini, dapat disimpulkan bahwa tingkat pembajakan software masih sangat tinggi di Indonesia. Sesungguhnya tingginya penggunaan software illegal ini lambat laun akan mematikan kreativitas masyarakat Indonesia, karena mereka hanya akan menjadi pengguna instant produk software proprietary (tertutup) saja tanpa mau mengutak-atik prosesnya.

Presiden Brazil Luiz Inacio Lula da Silva mencanangkan negaranya untuk menggunakan software open source agar dapat menghemat penggunaan uang negara. Hal ini juga pada hakekatnya pernah di canangkan oleh bangsa Indonesia dengan program IGOS (Indonesian Go Open Source), namun hingga saat ini tidak jelas bagaimana kelanjutan program ini.

Dasar Pengembangan Doktrin dan Teori Baru
Pengembangan suatu doktrin dan teori secara pasti banyak mendasarkan pada di mana lahan doktrin serta teori tersebut berada dan akan dipakai, artinya doktrin dan teori lahir serta dipraktekkan mempunyai dasar tertentu yang melandasinya.

Menurut Hayyanul Haq, sesungguhnya teori yang menjadi dasar pengembangan Intellectual Property Rights adalah berasal dari teori John Locke yang inti ajarannya adalah sebagai berikut: 1) Tuhan telah menciptakan seluruh alam semesta ini untuk semua manusia; 2) Tuhan menciptaan manusia dengan segala potensi yang melekat dalam dirinya untuk bisa survive (mempertahankan diri); 3) setiap manusia berhak untuk melakukan intervensi atas alam guna mempertahankan survivetasnya; 4) setiap manusia berhak atas hasil-hasil yang diperoleh dari setiap interaksi antar personal-personal yang ada; 5) hak personal itu tidak bisa diberikan atau dicabut oleh siapapun; 6) setiap orang harus menghormati hak itu sebagai hak personal.

Doktrin dan teori yang lahir pada bidang HKI dengan sendirinya akan memperhatikan beberapa aspek yang terkait dengan bidang yang dimaksud, seperti: 1) sistem hukum dan budaya hukum; 2) ruang lingkup hak kekayaan intelektual; 3. perkembangan teknologi, industri, dan perdagangan.

Indonesia sebagai salah satu anggota dari masyarakat internasional tidak akan terlepas dari perdagangan internasional. Sekarang ini negara sebagai pelaku perdagangan internasional terorganisasikan dalam sebuah wadah yang disebut World Trade Organization (WTO). Salah satu konsekuensi dari keikutsertaan sebagai anggota WTO, maka semua negara peserta termasuk Indonesia diharuskan menyesuaikan segala peraturan di bidang HKI dengan standar TRIPs. Dengan kata lain bahwa aturan-aturan HKI (termasuk hak cipta program komputer) di Indonesia harus mengadopsi ketentuan-ketentuan atau prinsip-prinsip yang ada dalam TRIPs.

Gambaran di atas menunjukkan bahwa perlindungan HKI saat ini mempunyai karakter tersendiri. Artinya, karakter perlindungan tersebut tumbuh secara internasional melalui konvensi-konvensi internasional, tetapi bermula dan berakar dari negara-negara individu secara mandiri sebagai subjek hukum internasional. Sebaliknya, dalam penerapan selanjutnya masing-masing negara mengadopsinya dengan memperhatikan akar budaya dan sistem hukumnya masing-masing, artinya implementasi perlindungan HKI pada pendekatan masing-masing negara. Salah satu contoh dari gambaran tersebut dapat dilihat dari kondisi bagaimana suatu negara mengatur perlindungan traditional knowledge. Banyak negara berpendapat bahwa pengaturan HKI yang ada tidak cukup dapat melindungi traditional knowledge secara kuat. Oleh karena itu, mereka membuat pengaturan khusus sebagai sesuatu yang sui generis dalam perlindungan terhadap traditional knowledge.

Dalam situasi perkembangan HKI yang semakin memerlukan perhatian serius dengan segala permasalahannya, baik menyangkut segi hukum dan kaitannya dengan perdagangan maupun aspek hak-hak asasi manusia, Indonesia harus dapat menyikapinya secara tepat. Menurut Henry Soelistyo dari Perhimpunan Masyarakat Hak Kekayaan Intelektual, berpendapat: “Bagi Indonesia, menerima globalisasi dan mengakomodasi konsepsi perlindungan HKI tidak lantas menihilkan kepentingan nasional. Keberpihakan pada rakyat, tetap menjadi justifikasi dalam prinsip-prinsip pengaturan dan rasionalitas perlindungan berbagai bidang HKI di tingkat nasional. Namun, semua itu harus tetap berada pada koridor hukum dan norma-norma internasional”.

Pendapat tersebut di atas sangat tepat dalam konteks sistem hukum di Indonesia, mengingat dalam sistem hukum Indonesia dikenal tiga sub-sistem hukum lainnya, yaitu hukum nasional, hukum Islam, dan hukum adat. Dengan kondisi demikian maka idealnya apa yang diatur dalam satu norma hukum bersesuaian atau tidak bertentangan dengan norma hukum lainnya. Dengan kata lain, misalnya, apa yang diatur dalam norma hukum positif tidak bertentangan dengan norma hukum Islam dan norma hukum adat. Hal yang sama berlaku juga untuk peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual. Artinya, secara idealnya norma hukum nasional yang dimuat dalam beberapa peraturan per-undangundangan di bidang HKI juga tidak bertentangan dengan norma hukum lainnya, khususnya norma hukum Islam dan hukum Adat.

Senada dengan hal ini, Hayyanul Haq menjelaskan bahwa hukum yang dibuat, termasuk aturan-aturan hukum di bidang HKI harus mampu memberikan manfaat/ perlindungan yang sebesar-besarnya kepada rakyat banyak, harus mampu melindungi hak-hak fundamental masyarakat.

Nama   : Zainul Arifin
NPM   : 27211720
Kelas   : 2EB09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar