Perlindungan Hukum Hak Cipta Software Program Komputer di
Indonesia
OLEH :
Hasbir Paserangi
JURNAL HUKUM NO. EDISI KHUSUS VOL.
18 OKTOBER 2011: 20 - 35
Hasil Penelitian
dan Pembahasan
Pengaturan Hak
Cipta Yang Mencerminkan Prinsip-Prinsip Dalam TRIPs.
Peraturan perundang-undangan di bidang HKI mengikuti
laju berkembangnya teknologi, industri, dan perdagangan. Contoh yang klasik,
yaitu sewaktu mesin cetak ditemukan oleh Gutenberg, maka pencetakan buku atau
menyalin (mengcopy) menjadi sesuatu yang mudah. Sebelumnya mengopi sebuah buku
memakan waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun sehingga harga per satuan
bukunya pun menjadi mahal. Dengan adanya mesin cetak, maka sebuah buku dapat digandakan
dengan cepat sehingga dapat disebarluaskan dengan harga yang relative jauh
lebih murah. Memperhatikan kondisi seperti itu, maka pengaturan di bidang HKI
dan peraturan perundang-undangannya pun akan cepat berubah guna mengikuti
perkembangan masyarakat.
Keadaan
tersebut sangat terlihat dengan dilakukannya pembaruan konvensikonvensi internasional
di bidang Hak Kekayaan Intelektual. Konvensi Berne untuk Perlindungan Karya
Sastra dan Seni (Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic
Works) telah beberapa kali diubah, yaitu tahun 1908, 1928, 1948, dan 1971. Hal
seperti itu pun berlangsung dan dialami oleh Indonesia. Sebagai contoh,
terlihat dari Undang-Undang Hak Cipta yang sering diperbarui, sampai kini sudah
empat kali Indonesia merevisi undang-undang tersebut, dimulai dengan Undang
Undang N0.6 Tahun 1982, Undang-Undang No7 Tahun 1987, kemudain direvisi dengan Undang-Undang
N0.12 Tahun 1997, dan Terakhir dengan UUHC. Begitu pula dengan Cina pada tahun
2001 telah merevisi UUHC (1991) dan kemudian 1 Januari 2002 mulai memberlakukan
Peraturan Perlindungan Piranti Lunak Komputer sebagai pelengkap Undang-Undang
Hak Cipta (2001)
Perkembangan
Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Cipta
Dalam
Djumhana dijelaskan bahwa doktrin-doktrin yang berkembang dalam perlindungan
Hak Cipta, yaitu4: 1) doktrin Publisitas (Right of Publicity); 2. Making Available
Right dan Merchandising right; 3. doktrin Penggunaan yang Pantas (Fair use/ Fair
dealing); 4. doktrin Kerja Atas Dasar Sewa (the Work Made for Hire Doctrine);
5. perlindungan (Hak) Karakter; 6. pengetahuan Tradisional (Traditional
Knowledge) dalam Lingkup Keterkaitan Hak Cipta; 7. cakupan-Cakupan Baru dalam Perlindungan
Hak Cipta; 8. software free, copyleft, open source.
Perluasan
cakupan hak cipta didasarkan pada ajaran manfaat (utilitarianism) yang sudah
digunakan sejak dahulu, dan sekarang ditambah dengan pikiran bahwa semakin
banyaknya pasar karya berhak cipta menuntut adanya suatu system perangsang yang
berimbang dan ini berarti menuntut perluasan Hak Cipta ke pasarpasar yang baru
ini.
Berkaitan
dengan ajaran manfaat (utilitarianism), hal senada juga dikemukakan oleh
Hayyanul Haq bahwa HKI memang idealnya memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
kepada rakyat banyak sebagaimana yang diajarkan oleh Jeremy Bentham “the greatest
happines for the greatest number”.
Kenyataan
seperti diuraikan di atas telah diterapkan dalam Undang-Undang Baru Hak Cipta
Indonesia, yaitu pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta,
cakupan hak cipta juga telah meliputi: 1) perlindungan terhadap data base; 2)
pengaturan tentang penggunaan sarana informasi teknologi seperti cakram optik
(optical disc); 3) pencantuman hak informasi manajemen elektronik dan sarana kontrol
teknologi; 4) perlindungan terhadap produk-produk yang menggunakan sarana
produksi berteknologi tinggi dan juga mekanisme pengawasan perlindungan tersebut.
Cakupan
baru dari perlindungan hak cipta sebagaimana disebutkan di atas, sangat
berkaitan erat dengan perlindungan atas karya cipta perangkat lunak computer (software)
dan teknologi digital. Menurut F.W.Grosheide, Professor Intellectual Property
Law Faculty of Law, Economics and Governance Mollengraaff Institute of Privat
Law Utrecht University, menjelaskan bahwa; (terjemahan bebas saya sebagai berikut):
“Perkembangan perlindungan terhadap karya cipta perangkat lunak komputer
(software) atau program komputer dimulai dari Konvensi Bern (1971). Digolongkannya
program komputer sebagai hasil karya yang berbasis teks atau tulisan (Literary
Works) menurut Konvensi Bern karena adanya proses penulisan kode-kode perintah
(coding) dari pencipta yang memerlukan selain penguasaan pengetahuan yang cukup
dalam teknik dan bahasa pemrograman juga kesabaran dalam penulisan kode-kode
tersebut, sehingga dihasilkan kode sumber (source code) yang berupa teks yang
hanya dapat dimengerti oleh ahlinya. Oleh karena itulah program komputer
dilindungi dengan hak cipta, bukan hak paten dan sampai saat ini saya belum
mendengar baik di Negara Eropa maupun di Amerika yang mempatenkan Program
Komputer”
Free Software,
Copyleft, Open Source
Dalam
perkembangan di bidang komputer, permasalahan HKI sangat erat hubungannya
terutama dalam perlindungan perangkat lunak komputer dengan bentuk perlindungan
hak cipta. Praktek rezim perlindungan hak cipta terhadap perangkat lunak yang
sangat berlebihan mulai memunculkan gerakan perlawanan berupa gerakan free
software, copyleft, dan open source.
Menurut
Budi Rahardjo, dalam makalahnya “Apakah Negara Berkembang Memerlukan Sistem
Perlindungan HKI”, menjelaskan sebagai berikut: Gerakan copyleft merupakan
gerakan anti terhadap copyright. Kata “copyleft” sendiri merupakan pelesetan
terhadap kata “copyright”, di mana kata “right” (yang diartikan sebagai kanan)
digantikan dengan “left” (yang diartikan sebagai kiri). Selain interpretasi sebagai
kata arah pergerakan (kanan dan kiri), kata “left” juga diartikan sebagai “ditinggalkan”
di mana karya yang copyleft tersebut harus ditinggalkan dalam bentuk sebelumnya
dan tidak dapat diikutsertakan dalam copyright berikutnya.
Gerakan
free software dimotori oleh Richard Stallman dari MIT yang merasa bahwa
software seharusnya bersifat “free”. Kata “free” ini sering membuat kebingungan
banyak orang karena dalam bahasa Inggris kata ini memiliki arti dua, free yang
berarti gratis (tidak bayar), dan free yang berarti bebas (berasal dari
kata”freedom”).
Stallman
sebetulnya lebih memfokuskan kepada arti yang kedua, yaitu free sebagai freedom
meskipun hampir semua implementasi free software adalah gratis. Di
Indonesia,arti kedua ini diterjemahkan sebagai “bebas”. Jadi, “free software”
ini diterjemahkan menjadi “software bebas”. Free software yang dikembangkan
oleh free software movement ini dapat Anda gunakan sesuka Anda. Richard
Stallman mengimplementasikan free software ini dalam bentuk software-software
yang diberinama GNU.
Gerakan
Open Source mulai terlihat dengan populernya sistem operasi Linux yang
dikembangkan oleh Linus Torvals. Sumber dari software, yang disebut source code,
merupakan inti dan fungsi software. Source code inilah yang mulanya dianggap sebagai
aset bagi sebuah perusahaan software sehingga dia dijaga mati-matian agar tidak
dilihat oleh kompetitor. Gerakan open source justru membuka source code dari software-software
yang dikembangkan sehingga dapat dilihat oleh siapa pun. Ada banyak manfaat
dari pendekatan open source ini, yaitu antara lain; dapat dikembangkan oleh
orang banyak, dapat diubah atau dikembangkan sendiri jika ada masalah, orang
dapat melihat ide-ide atau cara mengimplementasikan dari sebuah software.
Akibat dari keterbukaan ini banyak muncul software baru dan inovasi baru, yang
justru menjadi tujuan dari perlindungan HKI pada mulanya. Perlu diingat bahwa
software yang open source bukan berarti harus gratis (tidak bayar) dan masih
bisa menggunakan per-lindungan copyright (bahwa code ini hak ciptanya dimiliki
oleh Programmer). Ini yang membedakan dia dengan free software yang memang
benar-benar bebas.
Sebagaimana
telah diuraikan sebelumnya, bahwa berdasarkan data survey International Data
Cororation (IDC) tahun 2007, Indonesia berada pada urutan ke 12 dari 108 negara
dengan angka penggunaan software (perangkat lunak) illegal mencapai 84%. Angka
presentase ini menunjukkan perbaikan dibandingkan tahun sebelumnya yakni pada
tahun 2006 yang mencapai 85%. Meskipun begitu, tingkat pembajakan software
illegal hanya bisa dikurangi 1% saja dalam waktu satu tahun dari tahun
2006-2007. Dilihat dari data ini, dapat disimpulkan bahwa tingkat pembajakan
software masih sangat tinggi di Indonesia. Sesungguhnya tingginya penggunaan
software illegal ini lambat laun akan mematikan kreativitas masyarakat Indonesia,
karena mereka hanya akan menjadi pengguna instant produk software proprietary
(tertutup) saja tanpa mau mengutak-atik prosesnya.
Presiden
Brazil Luiz Inacio Lula da Silva mencanangkan negaranya untuk menggunakan
software open source agar dapat menghemat penggunaan uang negara. Hal ini juga
pada hakekatnya pernah di canangkan oleh bangsa Indonesia dengan program IGOS
(Indonesian Go Open Source), namun hingga saat ini tidak jelas bagaimana
kelanjutan program ini.
Dasar
Pengembangan Doktrin dan Teori Baru
Pengembangan
suatu doktrin dan teori secara pasti banyak mendasarkan pada di mana lahan
doktrin serta teori tersebut berada dan akan dipakai, artinya doktrin dan teori
lahir serta dipraktekkan mempunyai dasar tertentu yang melandasinya.
Menurut
Hayyanul Haq, sesungguhnya teori yang menjadi dasar pengembangan Intellectual
Property Rights adalah berasal dari teori John Locke yang inti ajarannya adalah
sebagai berikut: 1) Tuhan telah menciptakan seluruh alam semesta ini untuk
semua manusia; 2) Tuhan menciptaan manusia dengan segala potensi yang melekat
dalam dirinya untuk bisa survive (mempertahankan diri); 3) setiap manusia
berhak untuk melakukan intervensi atas alam guna mempertahankan survivetasnya;
4) setiap manusia berhak atas hasil-hasil yang diperoleh dari setiap interaksi
antar personal-personal yang ada; 5) hak personal itu tidak bisa diberikan atau
dicabut oleh siapapun; 6) setiap orang harus menghormati hak itu sebagai hak personal.
Doktrin
dan teori yang lahir pada bidang HKI dengan sendirinya akan memperhatikan
beberapa aspek yang terkait dengan bidang yang dimaksud, seperti: 1) sistem
hukum dan budaya hukum; 2) ruang lingkup hak kekayaan intelektual; 3. perkembangan
teknologi, industri, dan perdagangan.
Indonesia
sebagai salah satu anggota dari masyarakat internasional tidak akan terlepas
dari perdagangan internasional. Sekarang ini negara sebagai pelaku perdagangan
internasional terorganisasikan dalam sebuah wadah yang disebut World Trade
Organization (WTO). Salah satu konsekuensi dari keikutsertaan sebagai anggota
WTO, maka semua negara peserta termasuk Indonesia diharuskan menyesuaikan
segala peraturan di bidang HKI dengan standar TRIPs. Dengan kata lain bahwa aturan-aturan
HKI (termasuk hak cipta program komputer) di Indonesia harus mengadopsi
ketentuan-ketentuan atau prinsip-prinsip yang ada dalam TRIPs.
Gambaran
di atas menunjukkan bahwa perlindungan HKI saat ini mempunyai karakter
tersendiri. Artinya, karakter perlindungan tersebut tumbuh secara internasional
melalui konvensi-konvensi internasional, tetapi bermula dan berakar dari
negara-negara individu secara mandiri sebagai subjek hukum internasional. Sebaliknya,
dalam penerapan selanjutnya masing-masing negara mengadopsinya dengan
memperhatikan akar budaya dan sistem hukumnya masing-masing, artinya implementasi
perlindungan HKI pada pendekatan masing-masing negara. Salah satu contoh dari
gambaran tersebut dapat dilihat dari kondisi bagaimana suatu negara mengatur
perlindungan traditional knowledge. Banyak negara berpendapat bahwa pengaturan
HKI yang ada tidak cukup dapat melindungi traditional knowledge secara kuat.
Oleh karena itu, mereka membuat pengaturan khusus sebagai sesuatu yang sui
generis dalam perlindungan terhadap traditional knowledge.
Dalam
situasi perkembangan HKI yang semakin memerlukan perhatian serius dengan segala
permasalahannya, baik menyangkut segi hukum dan kaitannya dengan perdagangan
maupun aspek hak-hak asasi manusia, Indonesia harus dapat menyikapinya secara
tepat. Menurut Henry Soelistyo dari Perhimpunan Masyarakat Hak Kekayaan
Intelektual, berpendapat: “Bagi Indonesia, menerima globalisasi dan
mengakomodasi konsepsi perlindungan HKI tidak lantas menihilkan kepentingan
nasional. Keberpihakan pada rakyat, tetap menjadi justifikasi dalam prinsip-prinsip
pengaturan dan rasionalitas perlindungan berbagai bidang HKI di tingkat
nasional. Namun, semua itu harus tetap berada pada koridor hukum dan norma-norma
internasional”.
Pendapat
tersebut di atas sangat tepat dalam konteks sistem hukum di Indonesia, mengingat
dalam sistem hukum Indonesia dikenal tiga sub-sistem hukum lainnya, yaitu hukum
nasional, hukum Islam, dan hukum adat. Dengan kondisi demikian maka idealnya
apa yang diatur dalam satu norma hukum bersesuaian atau tidak bertentangan
dengan norma hukum lainnya. Dengan kata lain, misalnya, apa yang diatur dalam
norma hukum positif tidak bertentangan dengan norma hukum Islam dan norma hukum
adat. Hal yang sama berlaku juga untuk peraturan perundangundangan yang
berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual. Artinya, secara idealnya norma hukum
nasional yang dimuat dalam beberapa peraturan per-undangundangan di bidang HKI
juga tidak bertentangan dengan norma hukum lainnya, khususnya norma hukum Islam
dan hukum Adat.
Senada
dengan hal ini, Hayyanul Haq menjelaskan bahwa hukum yang dibuat, termasuk
aturan-aturan hukum di bidang HKI harus mampu memberikan manfaat/ perlindungan
yang sebesar-besarnya kepada rakyat banyak, harus mampu melindungi hak-hak
fundamental masyarakat.
Nama : Zainul Arifin
NPM :
27211720
Kelas : 2EB09