Perlindungan
Hukum Hak Cipta Software Program Komputer di Indonesia
OLEH :
Hasbir Paserangi
JURNAL HUKUM NO. EDISI KHUSUS VOL. 18 OKTOBER 2011: 20 - 35
Penutup
Indonesia
sebagai salah satu anggota dari masyarakat internasional tidak akan terlepas
dari perdagangan internasional. Sekarang ini negara sebagai pelaku perdagangan
internasional terorganisasikan dalam sebuah wadah yang disebut World Trade
Organization (WTO). Salah satu konsekuensi dari keikutsertaan sebagai anggota
WTO, maka semua negara peserta termasuk Indonesia diharuskan menyesuaikan
segala peraturan di bidang Hak Kekayaan Intelektual dengan standar Trade
Related Aspects of Intellectual Property Right (TRIPs). Dengan kata lain bahwa aturan-aturan
Hak Kekayaan Intelektual (termasuk hak cipta program komputer) di Indonesia
harus mengadopsi ketentuan-ketentuan atau prinsipprinsip yang ada dalam TRIPs.
Hal tersebut menunjukkan bahwa perlindungan Hak Kekayaan Intelektual saat ini
mempunyai karakter tersendiri. Artinya, karakter perlindungan tersebut tumbuh
secara internasional melalui konvensi-konvensi internasional, tetapi bermula
dan berakar dari negara-negara individu secara mandiri sebagai subjek hukum
internasional. Sebaliknya, dalam penerapan selanjutnya masing-masing negara
mengadopsinya dengan memperhatikan akar budaya dan sistem hukumnya
masing-masing, artinya implementasi perlindungan Hak Kekayaan Intelektual pada
pendekatan masing-masing negara, termasuk Indonesia.
Secara
ideal konsep HKI yang diperkenalkan oleh negara Barat harus benarbenar bersinergi
dengan kultur dan kesadaran hukum masyarakat bangsa Indonesia, artinya bahwa
untuk efektifnya aturan hukum tentang hak cipta, maka aturan hukum itu harus
seiring-sejalan dengan nilai-nilai intrinsik yang dianut oleh masyarakat bangsa
Indonesia. Namun dalam hal ini, konsep tersebut belum bersinergi terhadap kultur
dan kesadaran hukum masyarakat bangsa Indonesia.
Prosedur
penegakan hukum di bidang hak cipta memiliki persamaan di berbagai negara, yang
umumnya mencakup prosedur perdata (civil procedure) dan prosedur pidana dan
adminisratif (crimial and administrative procedure). Penyelesaian secara perdata
ternyata lebih efektif untuk memerangi pengguna software illegal . Perusahaan pembajak
lebih memilih membayar ganti rugi daripada diproses secara pidana dengan alasan
agar citra mereka tidak dipandang buruk di kalangan dunia usaha. Jalur perdata
yang ditempuh biasanya melalui non litigasi, yakni mediasi dan negosiasi dan
hal ini merupakan “win-win solution”.
Hendaknya
aturan hukum tentang hak cipta yang berlaku di Indonesia (Undang- Undang No.19
Tahun 2002) tidak terpola secara absolut sesuai tuntutan aturan-aturan universal
yang ada di TRIPs, akan tetapi lebih menyesuaikan dengan nilai-nilai hukum yang
ada di Indonesia tanpa harus bertentangan dengan aturan-aturan yang universal
tersebut. Artinya bahwa dengan tetap mengacu pada ketentuan-ketentuan TRIPs
yang kemudian diakomodir ke dalam UUHC harus tetap memperhatikan nilai manfaat
atau fungsi sosial serta kepentingan nasional Negara berkembang. Hal ini
berangkat dari pemikiran hedonistic utilitarianism yang bersandarkan pada
pendapat Jeremy Bentham (the greatest happiness for the greatest number) yang
kemudian saya istilahkan dengan konsep “fungsi sosial yang proporsional”
Agar
aturan hukum hak cipta (hak cipta software program komputer) bersinergi dengan
struktur dan kultur hukum masyarakat Indonesia, maka aturan hukum hak cipta
tersebut harus memuat kaidah-kaidah yang bersesuaian dan berintegrasi dengan
nilai-nilai internal yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Untuk hal ini saya
mengistilahkan dengan “konsep internalisasi” yang bercirikan: a) aturan yang dibuat
tersebut, selain dimaksudkan untuk melindungi hasil karya pencipta, maka tetap
juga memperhatikan kepentingan publik jika hal itu memang dianggap sangat dibutuhkan
oleh masyarakat banyak. b) aturan tersebut menyeimbangkan antara dimensi
ekonomi hak cipta dengan fungsi sosial hak tersebut.
Bentuk
penegakan hukum hak cipta software program komputer yang selama ini adalah
sifatnya menerapkan ketentuan UUHC secara an-sich, tidaklah memenuhi rasa
keadilan masyarakat yang memang lebih memilih menyelesaikannya dengan jalur
perdata (non-litigasi) dari pada jalur pidana dan administratif. Oleh karena itu
hendaknya penegakan hukum hak cipta software program komputer harus mencerminkan
nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan yang ada di dalam masyarakat, di mana
secara filosofi bahwa aturan hukum dibuat bukan untuk memberikan sanksi kepada
masyarakat, akan tetapi dibuat untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Oleh karena itulah saya mengistilahkannya dengan konsep “From Law Enforcement
to Justice Enforcement” yang nantinya konsep ini dapat mewujudkan perlindungan
hukum yang efektif dan terciptanya iklim yang sehat dalam rangka menumbuhkan
kreativitas masyarakat untuk berkarya.
Nama : Zainul
Arifin
NPM :
27211720
Kelas : 2EB09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar