Perlindungan
Hukum Hak Cipta Software Program Komputer di Indonesia
OLEH :
Hasbir Paserangi
JURNAL HUKUM NO. EDISI KHUSUS VOL.
18 OKTOBER 2011: 20 - 35
Analisis Permasalahan dengan TRIPs
Dari
apa yang telah diuraikan terdahulu berkaitan dengan TRIPs, maka dapat dianalisis
permasalahan dengan TRIPs sebagai berikut: 1) kesepakatan TRIPs dihasilkan dari
proses perundingan yang tidak transparan, tidak partisipatif, tidak seimbang
dan tidak demokratis dimana materi perundingan didominasi dan didesakkan oleh
negara maju. Akibatnya perjanjian TRIPs lebih mengakomodasi kepentingan negara
maju dan perusahaan multinasional; 2) terdapat indikasi bahwa TRIPs justru akan
meningkatkan arus dana dari negara berkembang ke negara maju melalui pembayaran
royalti, mengingat sebagian besar pemegang paten dunia, begitu juga pemegang
hak cipta untuk piranti lunak software/program komputer berasal dari negara
maju. Juga tidak ada indikasi bahwa negara maju akan melakukan alih teknologi
dengan cuma-cuma kepada negara berkembang, apabila diadakan perlindungan HKI,
mengingat perusahaan multinasional dari negara majulah sebenarnya yang menjadi
subyek perlindungan HKI seperti pada paten. Sebaliknya TRIPs akan menghambat
pengembangan pengetahuan lokal. Selain itu pelaksanaannya di negara berkembang
juga memerlukan biaya yang tinggi, yaitu 15 juta dollar AS untuk Indonesia; 3)
TRIPs memaksakan paradigma perlindungan HKI yang seragam di negara anggota WTO,
padahal ada perbedaan mendasar dalam perspektif memandang HKI antara negara
berkembang dan negara maju. Negara maju menganut sistem perlindungan HKI modern
yang memberikan hak eksklusif pada individu atas ilmu dan penemuannya. Negara
berkembang dengan masyarakat yang masih tradisional, justru menganggap peniruan
karya dan pengetahuan sebagai penghargaan tertinggi atas karya tersebut. TRIPs
secara tidak demokratis menghukum negara berkembang atas perbedaan perspektif
ini.
Harmonisasi
Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dengan
Struktur
dan Budaya Hukum Masyarakat Indonesia. Hukum merupakan sarana untuk mengatur
kehidupan sosial, namun hal yang menarik adalah justru hukum tertinggal di
belakang objek yang diaturnya. Dengan demikian selalu terdapat gejala bahwa
antara hukum dan perilaku sosial terdapat suatu jarak perbedaan yang sangat
mencolok. Apabila hal ini terjadi, maka akan timbul ketegangan yang semestinya
harus segera disesuaikan supaya tidak menimbulkan ketegangan yang
berkelanjutan, tetapi usaha ke arah ini selalu terlambat dilakukan. Semestinya,
pada waktu itulah dapat ditunjukkan adanya hubungan yang nyata di antara
perubahan sosial dan hukum yang mengaturnya, sebab perubahan hukum baru akan
terjadi apabila sudah bertemunya dua unsure pada titik singgung, yaitu adanya
suatu keadaan baru dan adanya kesadaran akan perlunya perubahan pada masyarakat
yang bersangkutan.
Lawrence
M. Friedmann, mempertanyakan apakah hukum mengakibatkan proses perubahan
sosial, atau justru mengikuti proses perubahan sosial? Apakah hukum menjadi penggerak
atau salah satu penggerak saja yang mengakibatkan perubahan sosial? Ataukah
perubahan sosial selalu berasal dari masyarakat yang besar yang kemudian
meluber ke sistem hukum? Apakah sistem hukum merupakan sistem yang hanya
menyesuaikan diri dengan atau mengakomodasi perubahan besar yang sedang terjadi
di luar sistem hukum? Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, Lawrence M. Friedman
mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu secara tuntas. Yang jelas kenyataan menunjukkan bahwa
hukum mengikuti perubahan sosial dan menyesuaikan dengan perubahan itu.
Berdasarkan
hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka dapat diketahui bahwa perubahan
sosial dalam kehidupan masyarakat akan membawa konsekuensi pada perubahan hukum
dalam berbagai aspek kehidupan karena berbagai aspek tersebut saling kait
mengkait satu dengan yang lain. Oleh karena kehidupan masyarakat terus berubah
sesuai dengan perkembangan zaman, maka berubah pula budaya masyarakat di suatu
tempat yang pada akhirnya diikuti pula dengan perubahan hukum.
Telah
diulas sekilas pada uraian terdahulu bahwa saat ini selain pendukung Hak
Kekayaan Intelektual juga telah mulai berkembang gerakan atau pemikiran baru,
yaitu yang “anti HKI “. Gerakan seperti ini merupakan suatu antitesis dan hal itu
sesuatu yang wajar, baik dalam kehidupan keilmuan maupun kenyataan praktek. Mereka
juga tidak semata-mata bergerak tanpa dasar. Dari segi filsafat hukum gerakan
mereka dapatlah digolongkan dengan dasar pemikiran yang beraliran hedonistic utilitarianism
yang bersandarkan kepada pendapat Jeremy Bentham, yaitu bahwa perundangan itu
hendaknya dapat memberikan kebahagiaan yang terbesar bagi sebagian besar
masyarakat (the greatest happiness for the greatest number). Gerakan seperti
itu di negara-negara Timur (Asia) termasuk Indonesia, bahkan lebih mendapat tempat
karena kebanyakan masyarakat berprinsip adanya suatu kebebasan dalam menggunakan
karya intelektual, mereka masih bersifat komunal.
Menurut
Budi Rahardjo, penganut anti HKI bukan menganjurkan pembajakan atau pelanggaran
Hak Kekayaan Intelektual, melainkan mereka menganjurkan untuk mengembalikan
kepemilikan kepada umat manusia, misalnya membuat temuan menjadi public domain.
Hak Kekayaan Intelektual sudah dimonopoli oleh negara besar dan perusahaan
besar sehingga manfaat bagi manusia menjadi nomor dua. Gerakan dan pemikiran
tersebut mengharapkan bahwa dalam pengaturan Hak Kekayaan Intelektual juga
harus diperhatikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat secara luas
(public) tidak semata-mata mengedepankan kepentingan individu saja.
Dari
apa yang diuraikan di atas, dengan mengakomodir ketentuan-ketentuan yang ada
pada Konvensi Bern dan TRIPs dan tetap mengacu pada teori yang dikemukakan oleh
Jeremy Bentham bahwa perundangan itu hendaknya dapat memberikan kebahagiaan
yang terbesar bagi sebagian besar masyarakat (The greatest happiness for the
greatest number) serta dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional dari
negara berkembang dan akar budaya masing-masing, maka akan melahirkan
harmonisasi hukum yang saya istilahkan dengan “fungsi sosial hak cipta yang
proporsional”.
Bentuk Penegakan
Hukum Hak Cipta Program Komputer (Software) di Indonesia
Masalah
HKI tidak kunjung selesai. Butuh kesadaran setiap orang untuk menghargai sebuah
karya cipta. Indonesia bisa dikatakan surganya pembajakan perangkat lunak
(software). Hal ini dibuktikan dengan mudahnya setiap orang bisa mendapatkan
media optik seperti CD, VCD dan DVD bajakan. Bahkan bajakmembajak dalam
industri kreatif (program komputer) di Indonesia merupakan hal yang sering
terjadi. Orang dengan mudah men-download sebuah lagu lewat internet.
Prosedur
penegakan hukum di bidang hak cipta memiliki persamaan di berbagai negara yang
umumnya mencakup prosedur perdata (civil procedure) serta prosedur pidana dan
administratif (criminal and administratif procedure).
Nama : Zainul Arifin
NPM : 27211720
Kelas : 2EB09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar